Senin, 01 Desember 2014

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN KONDUKSI ATRIAL FIBRILASI


ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN KONDUKSI
ATRIAL FIBRILASI


OLEH  :

 Vinsensius Bate     1303037
082226200330



PROGRAM STUDI STRATA 1 KEPERAWATAN PROGRAM B
STIKES BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA
2014



FIBRILASI ATRIUM
I.  KONSEP MEDIK

A.    Pengertian Fibrilasi Atrium
1.      Fibrilasi atrium adalah distritmia atrium yang terjadi sewaktu atrium berdenyut dengan kecepatan lebih dari 350-600x/menit. Depolarisasi ventrikel menjadi ireguler dan mungkin dapat mengikuti depolarisasi atrium mungkin pula tidak. Pengisian ventrikel tidak secara total bergantung pada kontraksi atrium yang terorganisasi, sehingga aliran darah yang masuk dan keluar ventrikel biasanya cukup kecuali pada waktu-waktu terjadi peningkatan kebutuhan misalnya, selama berolahraga (Corwin, 2009)
2.      Fibrilasi atrium adalah depolarisasi muncul di banyak tempat di atrium, menyebabkan depolarisasi yang tidak terkoordinasi dengan frekwensi tinggi.  Sentakan fokus ektopik pada struktur vena yang dekat dengan atrium (biasanya vena pulmonal) merupakan penyebab tertinggi (Surya Dharma, 2012)
3.      Fibrilasi atrium didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal. Aktivitas listrik jantung yang cepat dan tidak beraturan mengakibatkan atrium bekerja terus menerus menghantarkan implus ke nodus AV sehingga respon ventrikel menjadi ireguler. Atrial fibrilasi dapat bersifat akut maupun kronik dan umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun  (Berry and Padgett, 2012).

B.     Epidemiologi
Fibrilasi atrium (AF) merupakan gangguan irama jantung yang paling sering dijumpai dan terjadi secara persisten, dengan prevalensi
1.      AF dapat terjadi pada jantung normal, namun umumnya lebih sering terjadi pada penyakit jantung (Shay, 2010).
2.      Prevalensi AF pada populasi dewasa adalah 0,5% dengan kenaikan prevalensi mencapai 10% pada individu berusia lebih dari 75 tahun;
3.      Pada pasien yang juga menderita stenosis mitral, reumatik, akan meningkatkan risiko stroke yang dihadapinya 17 kali lebih tinggi. (Chang, 2009)
4.      Fibrilasi atrial terjadi pada 1-2% dari polpulasi, dan tampaknya akan terjadi peningkatan dalam 50 tahun ke depan.
5.      Prevalensi AF meningkat berdasarkan usia, mulai dari 0,5% pada usia 40-50 tahun, dan mendekati 5-15% pada usia 80 tahun.
6.      Laki-laki >perempuan,  (Setiati, 2014)
7.      Di AS, > 850,000 orang dirawat karena aritmia setiap tahunnya. AF mengenai kurang lebih 2,3 juta orang di amerika utara dan 4,5 juta orang di eropa, terutama yang berusia lanjut. Di AS, kira-kira 75 % orangberusia 65 tahun atau bahkan lebih tua. AF merupakan aritmia yang paling sering terjadi dengan prevalensi 0,4 % pada golongan usia <65 tahun dan meningkat 10 % pada kelompok usia > 75 tahun. Di Amerika Utara, prevalensi AF diperkirakan meningkat 2-3x pada tahun 2050 (Department Health and Human Services USA, 2010).

C.    Anatomi fisiologi
1.      Elektrofisiologi jantung
Ada 3 jenis kumpulan sel-sel jantung yang dapat membangkitkan arus listrik, yakni;
a.       Sel-sel pacemaker (nodus SA, nodus AV),
b.      Jaringan konduksi khusus (serat-serat purkinje), dan
c.       Sel-sel otot ventrikel dan atrium.
Stimulasi listrik atau potensial aksi yang terjadi pada ketiga sel-sel khusus ini dihasilkan oleh interaksi ionik transmembran, yaitu berupa transport berbagai ion utama melalui kanal-kanal khusus yang melewati membran sarcolema (suatu membran bilayer fosfolipid). Transportasi ionik ini mempertahankan gradien konsentrasi dan tegangan antara intra dan ekstra sel. Dalam keadaan normal, konsentrasi Na+ dan Ca++ lebih tinggi diluar sel, sedangkan konsentrasi K+ lebih tinggi didalam sel.
Pembentukan Potensial aksi
Intrasel bermuatan negatif dibandingkan sisi ekstranya, sehingga menghasilkan perbedaan tegangan dikedua sisi membran yang disebut sebagai potensial transmembran.Potensial transmembran saat istirahat (–80 s/d –90 mV pada otot jantung dan –60 pada sel pacemaker) terjadi akibat adanya akumulasi molekul-molekul bermuatan negatif (ion-ion) didalam sel. Potensial aksi pada sel jantung memberikan pola yang khas, dan mencerminkan aktifitas listrik dari satu sel jantung.Secara klasik aksi potensial dibagi 5 fase, namun untuk memudahkan pemahaman terhadap potensial aksi dapat disederhanakan menjadi 3 fase umum, yaitu :

a.      Fase Depolarisasi
Fase depolarisasi (fase 0) adalah fase awal dari potensial aksi yang timbul pada saat kanal Na+ membran sel terstimulasi untuk membuka. Bila hal ini terjadi, maka ion Na+ yang bermuatan positif akan serentak masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan potensial transmembran beranjak positif secara cepat. Perubahan resultan tegangan ini disebut depolarisasi. Depolarisasi satu sel jantung akan cenderung menyebabkan sel-sel yang berdekatan ikut berdepolarisasi dan membuka kanal Na+ sel sebelahnya. Sekali sel berdepolarisasi, gelombang depolarisasi akan di hantarkan dari sel ke sel ke seluruh sel jantung. Kecepatan depolarisasi suatu sel menentukan cepatnya impuls listrik dihantarkan ke seluruh sel miokard.
b.      Fase Repolarisasi
Sekali suatu sel berdepolarisasi maka tidak akan berdepolarisasi kembali hingga aliran ionik kembali pulih selama depolarisasi. Proses mulai kembalinya ion- ion ketempatnya semula seperti saat sebelum depolarisasi disebut repolarisasi.Karena depolarisasi berikutnya tidak dapat terjadi hingga repolarisasi, rentang waktu sejak akhir fase 0 hingga akhir fase 3 disebut sebagai periode refrakter (refractory periode).Fase 2 (fase plateau) dimediasi oleh terbukanya kanal lambat kalsium, yang akan menyebabkan ion kalsium yang bermuatan positif masuk kedalam sel.
c.       Fase Istrahat
Pada hampir semua sel jantung, fase istirahat (rentang waktu antara 2 potensial aksi sebagai fase 4) merupakan fase di mana tak ada perpindahan ion di membran sel. Namun pada sel-sel pacemaker tetap terjadi perpindahan ion melewati membran sel pada fase 4 ini dan secara bertahap mencapai ambang potensial, kemudian kembali berdepolarisasi membangkitkan impuls listrik yang dihantarkan ke seluruh jantung. Aktifitas fase 4 yang kemudian berdepolarisasi spontan disebut automatisitas.
Perbedaan lokal pola potensial aksi
Pola potensial aksi tidaklah sama pada setiap sel-sel yang menyusun sistem listrik jantung. Pola potensial aksi sel- sel Purkinje sangat berbeda dengan sel-sel nodus SA dan nodus AV. Perbedaan ini terjadi pada fase 0 yaitu depolarisasi lambat sel nodus SA dan AV, dikarenakan tidak adanya kanal cepat Na+ yang bertanggung jawab pada fase depolarisasi cepat sel otot jantung yang lain (fase 0).

Perbedaan lokal persarafan otonom
Secara umum, peningkatan tonus simpatik akan meningkatkan automatisitas (sel-sel pacemaker akan terpacu lebih cepat), meningkatkan kecepatan konduksi (impuls listrik akan dihantarkan lebih cepat), dan berkurangnya masa potensial aksi / memendeknya masa refrakter (sel akan siap secara cepat untuk berdepolarisasi kembali). Sebaliknya dengan bertambahnya tonus parasimpatik, automatisitas ditekan, kecepatan konduksi berkurang, dan masa refrakter meningkat. Serabut-serabut simpatik dan parasimpatik banyak mempersarafi nodus SA maupun AV. Selain itu, sel-sel pacemaker persarafan simpatiknya lebih dominan dibandingkan persarafan parasimpatik, itulah sebabnya mengapa perubahan pada tonus parasimpatis relatif lebih besar pengaruhnya terhadap nodus SA dan AV dibandingkan jaringan jantung lainnya.

2.      Eletrofisiologi gangguan takiaritmia
Abnormalitas sistem listrik jantung menghasilkan 2 jenis keadaan umum aritmia, yaitu irama jantung yang terlalu lambat (bradiaritmia) dan irama jantung yang terlalu cepat (takiaritmia). AF merupakan suatu bentuk takiaritmia, secara umum ada 3 mekanisme yang mendasari gangguan irama ini, yaitu:
a.            Abnormal Automaticity
b.           Reentry
c.            Trigered activity
a.       AutomatisitasAutomatisitas merupakan kemampuan suatu sel untuk berdepolarisasi spontan untuk mencapai tegangan ambang (treshold potensial) secara ritmis (berirama). Sel-sel khusus sistem konduksi nodus SA (native pacemaker) dan nodus AV (latent pacemaker) yang telah disebutkan diatas memiliki kemampuan automatisitas secara alamiah. Meskipun sel-sel otot ventrikel dan atrium tidak memiliki kemampuan automatisitas, tetapi mampu berdepolarisasi secara spontan dalam keadaan patologis seperti iskemia. Sel- sel di nodus SA secara normal mempunyai aktifitas fase 4 paling cepat dibanding bagian sel jantung lainnya, sehingga potensial aksi spontannya dihantarkan lebih dulu, memberikan gambaran irama sinus. Bila karena suatu sebab terjadi kegagalan automatisitas di nodus SA, maka sel-sel latent pacemaker (nodus AV) akan mengambil alih fungsi pacemaker jantung, akan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat. Gambaran potensial aksi menentukan kecepatan konduksi, masa refrakter, dan automatisitas sel-sel jantung’ ketiga komponen tersebut sangat berpengaruh terhadap mekanisme terjadinya kelainan irama jantung.
b.      ReentryReentry merupakan mekanisme umum yang terjadi pada hampir semua jenis takiaritmia. Untuk terjadinya Reentry harus terdapat beberapa syarat:  Terdapat dua jaras paralelyang saling berhubungan, pada bagian distal dan proksimal, membentuk sirkuit potensial listrik; Salah satu jaras harus memiliki masa refrakter yang berbeda dengan jaras yang lain. Bila suatu saat terjadi impuls prematur, impuls ini harus melewati sirkuit B (masa refrakter panjang) dan sirkuit A (masa refrakter pendek) (gambar 7). Impuls akan melewati sirkuit A karena lebih cepat pulih dan siap kembali menerima impuls listrik, sedangkan sirkuit B tidak dapat dilewati karena belum siap menerima impuls (masa refrakternya panjang). Pada saat sirkuit A menjalarkan impuls secara lambat, sirkuit B sudah pulih dari masa refrakter dan siap menerima impuls, yang ternyata dimulai dari arah berlawanan, berasal dari impuls prematur sirkuit A (konduksi retrograde). Bila impuls retrograd ini kembali melewati sirkuit A secara antegrade maka lingkaran impuls yang kontinu akan terbentuk, dan terjadilah lingkar reentry (loop reentry).
c.       Trigered activityTrigered activity memiliki gambaran yang sama seperti automatisitas dan reentry. Seperti pada automatisitas, trigered activity mencakup kebocoran ion positif kedalam sel jantung yang menyebabkan cetusan potensial aksi pada fase 3 atau awal fase 4. Cetusan ini disebut after-depolarization. Bila afterdepolarization ini cukup besar untuk membuka kanal natrium, potensial aksi yang kedua akan dibangkitkan.
D.    Etiologi:
1.      Penyebab penyakit kardiovaskuler
a.       Penyakit jantung iskemik
b.      Hipertensi kronis
c.       Kelainan katup mitral (stenosis mitral)
d.      Perikarditis
e.       Kardiomiopati, gagal jantung, Sindrome WPW, dan LVH
2.      Penyebab non kardiovaskuler
a.       Kelainan metabolik :
·         Tiroksikosis
·         Alkohol akut/kronis
b.      Penyakit pada paru
·         Emboli paru
·         Pneumonia
·         PPOM
·         Kor pulmonal
c.       Gangguan elektrolit : hipokalemia, magnesium, dan calsium
d.      Simpatomimetik obat-obatan dan listrik

E.     Faktor Resiko
1.      Faktor risiko yang menyebabkan AF terutama faktor usia (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
2.      Faktor risiko yang berasal dari non-cardiac adalah penyakit DM, kekurangan elektrolit, hipertiroid, dan emboli pulmonal.
3.      Faktor risiko dari cardiac adalah ASD, post operasi jantung, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi, iskemik, dll (Berry and Padgett, 2012).

F.      Patofisiologi
Adanya regangan akut dinding atrium dan fokus ektopik di lapisan dinding atrium di antara vena pulmonalis atau vena caval junctions merupakan pencetus AF.Daerah ini dalam keadaan normal memiliki aktifitas listrik yang sinkron, namun pada regangan akut dan aktifitas impuls yang cepat, dapat menyebabkan timbulnya after-depolarisation lambat dan aktifitas triggered.Triggered yang dijalarkan kedalam miokard atrium akan menyebabkan inisiasi lingkaran-lingkaran gelombang reentry yang pendek (wavelets of reentry) dan multiple. Lingkaran reentry yang terjadi pada AF tedapat pada banyak tempat (multiple) dan berukuran mikro, sehingga menghasilkan gelombang P yang banyak dalam berbagai ukuran dengan amplitudo yang rendah (microreentrant tachycardias).Berbeda halnya dengan flutter atrium yang merupakan suatu lingkaran reentry yang makro dan tunggal di dalam atrium (macroreentrant tachycardias).
AF dimulai dengan adanya aktifitas listrik cepat yang berasal dari lapisan muskular dari vena pulmonalis. Aritmia ini akan berlangsung terus dengan adanya lingkaran sirkuit reentry yang multipel. Penurunan masa refrakter dan terhambatnya konduksi akan memfasilitasi terjadinya reentry.
Setelah AF timbul secara kontinu, maka akan terjadi remodeling listrik (electrical remodeling) yang selanjutnya akan membuat AF permanen. Perubahan ini pada awalnya reversibel, namun akan menjadi permanen seiring terjadinya perubahan struktur, bila AF berlangsung lama.
Atrium tidak adequat memompa darah selama AF berlangsung.walaupun demikian, darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena itu, dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun timbul penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung. Atrial fibrilasi (AF) biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi lebih cepat dari biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu untuk mengisi sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh.
Terjadi penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya trombus. trombus ini meningkatkan resiko terjadinya stroke emboli dan gangguan hemostasis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand ( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2.  AF akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh lamanya AF.

G.    Manifestasi Klinis
Pasien umumnya memiliki keluhan :
1.      Palpitasi (perasaan yang kuat dari detak jantung yang cepat atau “berdebar” dalam dada)
2.      Perasaan tidak nyaman di dada (nyeri dada),
3.      Sesak napas/dispnea,
4.      Pusing, atau
5.      Sinkop (pingsan mendadak) yang dapat terjadi akibat peningkatan laju ventrikel atau tidak adanya pengisian sistolik ventrikel.
6.      Kelelahan, kelemahan/kesulitan berolahraga/beraktifitas
Namun, beberapa kasus atrial fibrilasi bersifat asimptomatik (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Trombus dapat terbentuk dalam rongga atrium kiri atau bagian lainnya karena tidak adanya kontraksi atrium yang mengakibatkan stasis darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya emboli pada sirkulasi sistemik terutama otak dan ekstremitas sehingga atrial fibrilasi menjadi salah satu penyebab terjadinya serangan stroke (Philip and Jeremy, 2007).

H.    Klasifikasi :
1.      Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi dikelompokkan menjadi;
Klasifikasi AF
Keterangan
AF paroksimal
AF ini dapat hilang dan timbul secara spontan, tidak lebih dari beberapa hari tanpa intervensi.
AF persisten
AF ini tak dapat terkonversi secara spontan menjadi irama sinus, sehingga diperlukan kardioversi untuk kembali ke irama sinus, baik konversi farmakologik ataupun non farmakologik.
AF permanen
AF  ini tak dapat dikonversi menjadi irama sinus.

2.      Berdasarkan ada tidaknya penyakit yang mendasari, AF dapat dibedakan menjadi :
a.       AF primer terjadi bila tidak disertai penyakit jantung atau penyakit sistemik lainnya,
b.      AF sekunder disertai adanya penyakit jantung atau penyakit sistemik seperti gangguan tiroid. 

3.      Berdasarkan bentuk gelombang P yaitu dibedakan atas :
a.       AFCoarse(kasar) jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih bias dikenali.
b.      AFFine(halus) jika bentuk gelombang P halus hampir seperti garis lurus
Sumber :  (Levy, Camm, Saksena, 2003. Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).


I.       Pemeriksaan Diagnostik
1.      Pemeriksaan Fisik :
a.       Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya, tekanan darah, dan pernapasan meningkat
b.      Tekanan vena jugularis
c.       Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
d.      Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup jantung
e.       Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
f.       Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
2.      Laboratorium :
a.       Darah rutin : Hb, Hmt, Trombo.
b.      TSH ( penyakit gondok ),
c.       Enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia jantung.
d.      Elektrolit : K, Na, Ca, Mg
e.       PT/APTT
3.      Pemeriksaan EKG :
Merupakan standar baku cara diagnostic AF
a.       Irama EKG umumnya tidak teratur dengan frekuensi bervariasi (bisa normal/lambat/cepat). Jika kurang dari 60x/menit disebut atrial fibrilasi slow ventricular respons (SVR), 60-100x/menit disebut atrial fibrilasi normo ventricular respon (NVR) sedangkan jika >100x/menit disebut  atrial fibrilasi rapid ventricular respon (RVR).
b.      Gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat didefinisikan 
c.       Interval segmen PR tidak dapat diukur
d.      Kecepatan QRS biasanya normal atau cepat
4.      Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOM, kor pulmonal.
5.      Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan
6.      TEE ( Trans Esophago Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium kiri.

J.       Penatalaksanaan
AF paroksismal yang singkat, tujuan strategi pengobatan adalah dipusatkan pada kontrol aritmianya (rhytm control).Namun pada pasien dengan AF yang persisten, terkadang kita dihadapkan pada dilema apakah mencoba mengembalikan ke irama sinus (rhytm control) atau hanya mengendalikan laju denyut ventrikular (rate control) saja.
Terdapat 3 kategori tujuan perawatan AF yaitu :
1.      Terapi profilaksis untuk mencegah tromboemboli,
2.      Mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal, dan
3.      Memperbaiki irama yang tidak teratur.
Berikut penatalaksanaan AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) RS Harapan Kita Edisi III 2009, yaitu:
1.      Farmakologi
a.       Rhythm control,
Tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama sinus / irama jantung yang normal.
·         Diberikan anti-aritmia gol. I (quinidine, disopiramide dan propafenon).
·         Untuk gol.III dapat diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi dengan DC shock
b.      Rate control
Rate control bertujuan untuk mengembalikan / menurunkan frekwensi denyut jatung dapat diberikan obat-obat yang bekerja pada AV node seperti :
digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta (β bloker) seperti propanolol. Amiodaron juga dapat dipakai untuk rate control
c.       Profilaksis tromboemboli
Tanpa melihat pola dan strategi pengobatan AF yang digunakan, pasien harus mendapatkan anti- koagulan untuk mencegah terjadinya tromboemboli.Pasien yang mempunyai kontraindikasi terhadapwarfarin dapat di berikan antipletelet.
2.      Non-farmakologi
a.       Kardioversi
Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap AF paroksismal dan AF persisten. Untuk AF sekunder, seyogyanya penyakit yang mendasari dikoreksi terlebih dahulu. Bilamana AF terjadi lebih dari 48 jam, maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu sebelum kardioversi dan selama 3 minggu setelah kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat emboli. Konversi dapat dilakukan tanpa pemberian antikoagulan, bila sebelumnya sudah dipastikan tidak terdapat trombus dengan transesofageal ekhokardiografi.
b.      Pemasangan pacu jantung (pacemaker)
Beberapa tahun belakangan ini beberapa pabrik pacu jantung (pacemaker) membuat alat pacu jantung yang khusus dibuat untuk AF paroksismal.Penelitian menunjukkan bahwa pacu jantung kamar ganda (dual chamber), terbukti dapat mencegah masalah AF dibandingkan pemasangan pacu jantung kamar tunggal (single chamber).
c.       Ablasi kateter
Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE procedure) dan transkateter.Ablasi transkateter difokuskan pada vena-vena pulmonalis sebagai trigger terjadinya AF. Ablasi nodus AV dilakukan pada penderita AF permanen, sekaligus pemasangan pacu jantung permanen

K.    Komplikasi
1.      Cardiac arrest / gagal jantung
2.      Stroke
3.      Dimensia

L.     Pronosis
Penanganan AF secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik pada kejadian tromboemboli terutama stroke dan komplikasi yang lain








II.  ASUHAN KEPERAWATAN

1.      PENGKAJIAN
Riwayat Keperawatan
a.       Aktivitas / istirahat
Keluhan kelemahan fisik secara umum dan keletihan berlebihan.Temuan fisik berupa disritmia, perubahan tekanan darah dan denyut jantung saa aktivitas.
b.      Sirkulasi
Melaporkan adanya riwayat penyakit jantung koroner ( 90 -95 % mengalami disritmia ), penyakit  katub jantung , hipertensi , kardiomiopati, dan CHF. Riwayat insersi pacemaker. Nadi cepat/lambat/tidak teratur,palpitasi.Temuan fisik meliputi hipotensi atau hipertensi selama episode disritmia.Nadi ireguler atau denyut berkurang.Auskultasi jantung ditemukan adanya irama ireguler, suara ekstrasisitole. Kulit mengalami diaforesis,pucat, sianosis.Edema dependen, distnsi vena jugularis,penurunan urine output.
c.       Neurosensori
Keluhan pening hilang timbul, sakit kepala,pingsan. Temuan fisik : status mental disorientasi,confusion,kehilangan memori, perubahan pola bicara,stupor dan koma.Letargi ( mengantuk ), gelisah, halusinasi; reaksi pupil berubah.Reflek tendon dalam hilang menggambarkan disritmia yang mengancam jiwa ( ventrikuler tachicardi atau bradikardia berat ).
d.      Kenyamanan
 Keluhan neri dada sedang dan berat ( infark miokard ) tidak hilang dengan pemberian obat anti angina. Temuan fisik gelisah.
e.       Respirasi
Keluhan sesak nafas , batuk, ( dengan atau tanpa sputum ) , riwayat penyakit paru, , riwayat merokok,.Temuan fisik perubahan pola nafas selam periode disritmia. Suara nafas krekels mengindikasikan oedem paru atau fenomena thromboemboli paru.
f.       Cairan dan Nutrisi
Keluhan berupa intoleransi terhadap makanan, mual, mumtah.Temuan fisik berupa tidak nafsu makan,perubahan turgor atau kelembapan kulit. Perubahan berat badan akibat odema.
Apakah ada riwayat pengguna alkohol
g.      Keamanan
Temuan fisik berupa hilangnya tonus otot.
h.      Psikologis
Merasa cemas , takut, menarik diri, marah, menangis, dan mudah tersinggung.


2.      DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Resiko penurunan curah jantung b.d. perubahan konduksi elektrik miokard, penurunan   kontraktilitas miokard

Tujuan
Mempertahankan curah jantung tetap adekuat, tidak berlanjut kepada munculnya tanda/ gejala dekompensasi.

Kriteria hasil
Ø  Frekuensi serangan disritmia berkurang
Ø  Klien mampu bertoleransi terhadap aktivitas
Ø  Klien tidak mengalami keluhan gagal jantung

Intervensi

·         Palpasi nadi, femoral, dorsum pedis ), catat frekuensi per menit, keteraturan, dan ampnya litudo.Dokumentasi adanya pulsus alterans, denyut bigemini, atau defisit nadi.
·         Auskultasi bunyi jantung, catat frekuensi, permenit, irama.Catat adanya ekstrasistole, hilangnya denyut.
·         Monitor tanda vital, dan observasi keadekuatan perfusi jaringan. Laporkan jika terjadi perubhan tekanan darah, denyut nadi, respirasi yang bermakna, nilai dan catat MAP, tekanan nadi, perubahan warna atau suhu kulit, tingkat kesadaran, dan produksi rine selama periode disritmia.
·         Tentukan jenis disritmia dan dokumentasikan melalui rhytim strip: tachicardi, bradikardia, atrial disritmia, ventrikuler disritmia, heart blok.
Rasional :
Disritmia menyebabkan penurunan tekanan darah, serta perubahan frekuensi dan amplitudo nadi yang berakibat menurunnya curah jantung dan perfusi organ/ jaringan. Kondisi ini akan  meningkatkan konsumsi oksigen miokard.
·         Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.Jelaskan pembatasan aktifitas selama faseakut
·         Ajarkan dan anjurkan melakukan teknik managemen stres ( relaksasi, napas dalam, dan imaginasi secara terbimbing ).
·         Kaji lebih lanjut keluhan nyeri dada. Dokumentasikan nyerinya, lokasinya, durasi, intensitas, serta faktor yang da[at mengurangi atau memperparah keluhan.Catat respon nonverbal nyeri : grimace wajah, menangis, perubahan tekanan darah, dan frekuensi denyut nadi.
·         Persiapkan peralatan dan obat-obatan resusitsi kardiopulmonal ( sesuai indikasi ).

Rasional :
Mengrangi kecemmasan yang memicu peningkatan konsumsi oksigen miokard dan disritmia. Nyeri dada mengindikasikan iskemia miokard.
·         Kolaborasi
Ø  Monitor hasil studi laboratorium ( elektrolit,level pemakaian obat/ kadar serum digitalis )
Ø  Pemberian oksigen
Ø  Pemberian suplemen kaliun sesuai indikasi dan hasil elektrolit serum
Ø  Pemberian obat anti disritmia
Ø  Persiapan atau bantu cardioversion; digunakan untuk atrial vibrilasi,atau disritmia tertentu yang tidak stabil
Ø  Bantu mempertahankan fungsi atau insersi pacemaker
Ø  Pasang dan pertahankan iv line
Ø  Persiapkan prosedur diagnostik atau pembedahan sesuai indikasi


Rasional:
§  Ketidakseimbangan elektrolit dan kadar digitalis darah memicu disritmia yang membahayakan
§  Meningkatkan suplai oksigen jaringan
§  Hipokalemia menurunkan kontraktilitas miokard
§  Terapi disritmia sesuai jenis disritmia dan indikasi akan memperbaiki kontraktilitas jantung, serta meningkatkan curah jantung danperfusi jaringan.
§  Disritmia membahayakan harus dihentikan segera dengan sinkronisasi impuls listrik miokard.Kardioversi akanmengembalikan denyut jantung normal atau mengurangi gejala gagal jantung
§  Pacemaker membantu mengembalikan denyut jantung dalam batas normal
§  Akses intravena  untuk kondisi darurat
§  Prosedur diagnostik membantu menengakkan diagnostik

Diagnosa keperawatan 2
Resiko terhadap ketidak efektifan  penatalaksanaan aturan teraupetik b.d ketidak cukupan pengetahuan tentang program terapi,program aktivitas, serta tanda dan gejala komplikasi.
Tujuan
Klien memahami tentang penyakit dan penatalaksanaan
Kriteria hasil
1.         Klien dapat menjelaskan pengertian, penyebab, dan faktor  pencetus disritmia
2.         Klien dapat menjelaskan manfaat pengobatan, efek therapi yang diharapkan,dan efek       samping     pengobatan
3.         Klien dapt menjelaskan kembali ujuan dan alasan dilakukanprosedur pemasangan             pacemaker, dan mengkomunikasikan tanda kegagalan pacemaker ( jika terpasang     pacemaker ).

Intervensi
·                     Review fungsi normal jantung dan konduksi elejtrik jantung dengan bahasa yang   mudah             dipahami
·                     Beri penjelasan tentang gangguanirama jantung tertentu, dan penentuan therapi      kepada             klien dan keluarganya
·                     Identifikasi efek lanjut atau komplikasi dari disritmia tertentu seperti fatique, edema,         vertigo, dan perubahan status mental
·                     Berikan dan dokumentasikan pembelajran pengobatan klien mengenai mengapa bat           diberikan, bagaiman dan kapan obat diberikan, apa yang harus dilakukan jika lupa      terhadap          dosis obat, efek samping atau kemungkinan reaksi lanjut/ interaksi       dengan obat lain, alkohol        atau tembakau, dan apabila harus melaporkannya ke       dokter
·                     Anjurkan melakukan latihan secara teratur dan hindari aktifitas berlebihan
·                     Identifikasi gejala dan tand ayng timbul akibat aktivitas yang berlebihan seperti     pening,palpitasi, dypsnea,berkunang-kunang dan nyeri dada
·                     Tinjau kembali diet individual mengenai pembatasan kalium dan kafein
·                     Berikan informasi tertulis agar  dibawa pulang dan digunakan bila kondisi klien     berubah
·                     Ajarkan dan demonstrasikan teknik mengukur nadi sendiri.Ajarkan kepada klien / keluarga           untuk melakukan dan mencatat nadi sebelum minum obat atau latihan       dan mengenali tanda   dan gejala yang memerlukan tindkan medis segera.
·                     Review tindakan pencegahan yang aman, teknik untuk mengevaluasi tau    mempertahankan         fungsi pacemaker serta tanda dan gejala yang membutuhkan           intervensi medis.

Rasional
Pengajaran tentang fungsi jantung, danprogram terapi dapat membantu klien beradaptasi dengan pola aktivitas, diet, gaya hidup, dan meningkatkan kualitas hidup klien.


KEPUSTAKAAN

1.      Setiati, Siti. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing
2.      Chang, Esther. 2009. Patofisiologi: Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC
3.      Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC
4.      Dharma, Surya. 2012, Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG, Jakarta : EGC























Tidak ada komentar:

Posting Komentar