A.
PENGERTIAN
Subdural hematoma adalah terkumpulnya
darah antara durameter dan jaringan otak, yang dapat terjadi secara akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya
terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut
terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2
minggu atau beberapa bulan (corwin,
2009).
Hematoma subdural adalah penimbunan
darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun
cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak
atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas
langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural
akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala
tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu
setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan
lokasi gumpalan darah (arif
muttaqin,2008).
B.
ANATOMI
FISIOLOGI

Gambar
anatomi dan fisiologi kepala
1.
Tengkorak
Tulang
tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang
menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka.
Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan : lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan
struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan
struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga / fosa ; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis,
parientalis, oksipitalis, fosa
posterior berisi otak tengah dan sereblum.

2. Meningen
Otak dan sumsum tulang belakang
diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa
pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan
(Pearce, Evelyn C : 2008).
Selaput meningen menutupi terdiri
dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan
yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial ruang
subdural yang terletak antara dura
mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh – pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di
garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini
adalah:
1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang
hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi
tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan
permukaan dalam dari kranium ruang epidural.
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural.
Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak
pada fosa media fosa temporalis.
Hematoma epidural diatasi
sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk
mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber
perdarahan.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan
lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh
spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquorserebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks
serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
3. Otak
Menurut Ganong (2002), Price (2005),
otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a. Cerebrum

Gambar : Lobus-lobus Otak
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium
serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari
lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus
memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama
mengendalikan keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau
mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga
mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab
terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek
perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran
dan lokasi kerusakan
fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya
mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang
nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke
bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh,
lalai dan kadang inkontinensia.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian
penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan
kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus
parietalis pada
korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke
dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal
dari daerah ini. Lobus parietalis juga
membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari
bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang
berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk
melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang
luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau
ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang
sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding.
Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus
temporalis mengolah
kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka
panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan
akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang
berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam
mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan, akan mengalami
perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama
yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
4) Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center.
Kerusakan pada lobus ini otomatis akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri
yaitu penglihatan.
b.
Cereblum
Terdapat
dibagian belakang kranium menepati fosa
serebri posterior dibawah lapisan durameter.
Cereblum mempunyai aski yaitu ;
merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap
koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar,
keseimbangan posisi dan mengintegrasikaninput sesori.
c. Brainstem
Batang
otak terdiri dari otak tengah, pons dan
medula oblomata. Otak tengah midbrain / ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat
reflek pendengaran dan penglihatan. Pons
terletak didepan sereblum antara otak tengah dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan
juga antara medula dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula
oblomata membentuk bagian inferior
dari batang otak, terdapat pusat –pusat otonom yang mengatur
fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan
bersin.
4. Syaraf-Syaraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila
trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus yaitu:
a. Nervus
Olfaktorius (Nervus
Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak
dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke
otak.
b. Nervus
Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa
rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus
Okulomotorius (Nervus
Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi
otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan serabut-serabut saraf
para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris.
d. Nervus
Trokhlearis (Nervus
Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi
otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat
saraf penggerak mata.
e. Nervus
Trigeminus (Nervus
Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris)
saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga,
saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:
ü Nervus
oftalmikus: sifatnya
sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas, selaput lendir
kelopak mata dan bola mata.
ü Nervus
maksilaris: sifatnya
sensoris, mensarafi gigi atas,
bibir atas, palatum, batang
hidung, ronga hidung dan sinus
maksilaris.
ü Nervus
mandibula: sifatnya
majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut
sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
f. Nervus
Abducens (Nervus
Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi
otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi mata
g. Nervus
Fasialis (Nervus
Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan
motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir
ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom
(parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk
menghantarkan rasa pengecap.
i.
Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat
pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak.
Fungsinya sebagai saraf pendengar.
j. Nervus
Glosofaringeus (Nervus
Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan
motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan
cita rasa ke otak.
k. Nervus
Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan
motoris) mengandung saraf-saraf motorik, sensorik dan parasimpatis faring,
laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar
pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.
l. Nervus
Aksesorius (Nervus
Kranialis XI),
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf
tambahan
m. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf
lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung.
C.
ETIOLOGI
Penyebab subdural hematoma antara lain (Rosjidi, 2007) :
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan
kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak
dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi
hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan
benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya
terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau
benda tajam.
Keadaan
ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional
yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan
sub dural dapat terjadi pada:
1. Trauma
kapitis
Trauma
di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
2. Trauma
pada leher karena guncangan pada badan.
Hal
ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak,
misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
3. Pecahnya
aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura
4. Gangguan
pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan,
dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pada orang tua,
alkoholik, gangguan hati.
D.
PATOFISIOLOGI
Perdarahan
terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan
otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea.
Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan
sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi
pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka
menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut
menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku
dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan
darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural
kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam
tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya
trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan
terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada
perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada
hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang
membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah
di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada
membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume
dari perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya
tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis
spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra
kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang
cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang
yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.
Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut
dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar
melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke
bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial.
Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus
dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang
lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural
kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan
darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat
di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat
inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata
ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian
didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya
normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan
bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan
terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam
pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural
hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan
peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
subdural kronik. (Price and Wilson, 1995).
E.
KLASIFIKASI
Perdarahan
Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala-
gejala klinis (J Langham,
dkk ; 2003) adalah :
a. Perdarahan
akut
Gejala
yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut
pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening
tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
b. Perdarahan
sub aku
Berkembang dalam
beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub
akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi
isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi
dari hemoglobin.
c. Perdarahan
kronik
Biasanya
terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan
setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur
ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan
bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan
dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk
atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea
bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang
tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume
dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru
yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk
cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma
akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar
hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun.
Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens. Pembagian Subdural
kronik : Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan
subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1) Tipe
homogen ( homogenous)
2) Tipe
laminar
3) Tipe
terpisah ( seperated)
4) Tipe
trabekular (trabecular)
Tingkat
kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular
adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya
dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar.
Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan
hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan. Sedangkan
berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural
kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1) Tipe
konveksiti (convexity)
2) Tipe
basis cranial ( cranial base )
3) Tipe
interhemisferik
Tingkat
kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi,
sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan
subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini
berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.
F.
MANIFESTASI
KLINIS
Tanda dan gejala yang timbul pada hematoma dalah sebagai berikut subdural
(Sylvia A : 2005,
Diane C : 2002) adalah :
1. Hematoma
Subdural Akut
Hematoma
subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah
cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak
dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak.
Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya
kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma
Subdural Subakut
Hematoma
ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini
juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan
dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan
respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan
peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi
batang otak.
3. Hematoma
Subdural Kronik
Timbulnya
gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun
setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh
membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan
ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan
ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek
membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan
darah.
Hematoma
subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
·
Sakit kepala yang menetap
·
Rasa mengantuk yang hilang-timbul
·
Linglung
·
Perubahan ingatan
·
Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan.
G.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan subdural
hematom adalah sebagai berikut ( Junaidi ;
2010) :
1. CT
Scan
CT Scan saat tanpa atau
dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI
(Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna
untuk mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai
proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis
menggunakan CT-scan dibandingkan MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai
pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang
berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan.
MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan
cedera aksonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural
hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
3. Angiografi
Serebral
Menunjukkan kelainan
sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan,
trauma.
4. X-Ray
Mendeteksi perubahan
struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema),
fragmen tulang.
5. Analisa
Gas Darah
Medeteksi ventilasi
atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
6. Elektrolit
Untuk mengkoreksi
keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
7. Laboratorium
Pemeriksaan
laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil
hemostasis/koagulasi.
8. Foto
tengkorak
Pemeriksaan foto
tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak
sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial
tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH.
Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.
H.
PENATALAKSANAAN
MEDIK
Penatalaksanaan medik yang dilakukan
pada pasien dengan subdural hematom adalah sebagai berikut (Junaidi ; 2010) :
1. Tindakan
Tanpa Pembedahan
Pada
kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan
konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan
darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami
pengapuran. Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut
dimana tebal hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm.
Dua dari penderita ini kemudian mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi.
Ternyata dua pertiga dari penderita ini mendapat perbaikan fungsional. Merawat
nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan intrakranial (TIK) yang
normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari penderita yang membutuhkan operasi untuk
SDH. Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna kemungkinan menderita
suatu diffuse axonal injury.
Pada
penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya
tidak di indikasikan untuk tindakan operasi. Beberapa penderita mungkin
mendapat kerusakan berat parenkim otak dengan efek massa (mass effect)
tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini, tindakan operasi/evakuasi
walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan TIK dan memperbaiki keadaan
intraserebral. Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif
dan depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk
dan bukan calon untuk operasi.
2. Tindakan
Pembedahan
Hematoma subdural yang akut dan
kronik, jika memberikan gejala-gejala yang berat dan progresif maka perlu
dioperasi. Pada CT scan pasien dengan
hematoma subdural dengan ketebalan lesi > 10 mm atau midline-shift > 5 mm maka harus
dievakuasi dengan pembedahan,tanpa memperhatikan GCS pasien. Semua pasien
dengan hematoma subdural akut dengan koma maka Tekanan intrakranialnya harus
diawasi. Pasien dengan status koma dengan ketebalan lesi hematom subdural <
10 mm dan midline shift < 5 mm
harus dievakuasi dengan pembedahan jika GCS menurun diantara waktu trauma dan
masuk di rumah sakit dengan 2 atau lebih poin dan atau pasien yang menunjukkan
asimetris dan atau pupil dilatasi dan atau tekanan intrakranial melebihi 20 mm
Hg.
Pada pasien dengan hematoma subdural
akut dan berindikasi untuk dilakukan pembedahan, maka evakuasi dengan
pembedahan harus dilakukan sesegera mungkin. Jika terdapat indikasi evakuasi
pembedahan pada pasien hematoma subdural akut yang koma, maka harus dilakukan
dengan menggunakan kraniotomi dengan atau tanpa bone flap removal dan duraplasti.
Evakuasi secara bedah merupakan
pengobatan definitif dan tak boleh terlambat, karena menimbulkan resiko berupa
iskemia otak dan hiperventilasi. Pembedahan pada hematoma subdural akut dengan
kraniotomi yang cukup luas untuk mengurangi penekanan pada otak (dekompresi),
menghentikan perdarahan aktif subdural, dan evakuasi darah intraparenkimal.
Setelah evakuasi hematom pada
hematoma subdural akut, pemberian obat ditujukan untuk pengontrolan terhadap
tekanan intrakranial (TIK) dan mempertahankan tekanan perfusi serebral di atas
60-70 mmHg. Parameter ini dipertahankan selama periode perioperatif. Bila dalam
24 jam ditemukan terjadinya suatu hematoma subdural akut berulang atau ada
suatu peningkatan tekanan intrakranial dilakukan follow up dengan pemeriksaan
CT scan ulang segera untuk melihat lesi intrakranial atau reakumulasi hematoma
subdural. Pemeriksaan pembekuan trombosit darah setelah tindakan operasi
diikuti untuk mengoreksi jika ada suatu resiko perdarahan tambahan.
3. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasi
pun kita harus tetap berhati-hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi
perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural
empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang,
tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan
terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus
dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial CT-scan
tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.
4. Follow
– Up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik
dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
5. Pengobatan
a. Hiperventilasi
Bertujuan untuk
menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b. Cairan
hiperosmoler
Umumnya digunakan
cairan Manitol 10¬-15% per infus untuk "menarik" air dari ruang
intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis.
c. Kortikosteroid
Penggunaan
kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah otak. Berupa Dexametason,
Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
d.
Barbiturat
Digunakan untuk
mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah
mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang
rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat
hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.
e.
Pemberian obat-obat neurotropik untuk
membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan
koma.
ü Piritinol,
merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi
metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase
akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan
pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
ü Piracetam,
merupakan senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter penting di otak.
Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
ü Citicholine,
disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam
dosis 100-500 mg/hari intravena.
I.
KOMPLIKASI
Komplikasi
yang terjadi pada pasien subdural hematoma adalah sebagai berikut (Anonim ;
2007) :
1.
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
·
Hemiparese/hemiplegia
·
Disfasia / afasia
·
Epilepsi
·
Hidrosepalus
·
Subdural empiema
·
Stroke
·
Encephalitis
·
Abses otak
·
Adverse drugs reactions
·
Tumor otak
·
Perdarahan subarachnoid
2.
Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :
·
Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
·
Pada subdural hematom kronis :
-
Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
-
Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.
J.
PENCEGAHAN
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah
suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat
trauma. Upaya yang dilakukan ( Mansjoer, dkk
;
2000)
yaitu :
1. Pencegahan
Primer
Pencegahan
primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu
lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera
seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan
sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk
mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan
pemberian pertolongan pertama, yaitu :
a) Memberikan
jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain
merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan
tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari
masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan
oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik
oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan
nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa
adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal
lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.
Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
b) Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas
tidak ada hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
c) Menghentikan
perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan
pada tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat
dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian
cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah. Syok
biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
3. Pencegahan
Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk
mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi
penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi
kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan
dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala
akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara
fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
a) Rehabilitasi
Fisik
·
Fisioterapi dan latihan peregangan untuk
otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh.
·
Perlengkapan splint dan kaliper
·
Transplantasi tendon
b) Rehabilitasi
Psikologis
Pertama-tama dimulai
agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan
dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga
diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan
semangat hidup.
c) Rehabilitasi
Sosial
·
Merancang rumah untuk memudahkan pasien
dengan kursi roda, perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur
sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
·
Membawa penderita ke tempat keramaian
(bersosialisasi dengan masyarakat).
K.
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia
belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan
subdural. Di Amerika Serikat frekwensinya berbanding lurus terhadap kejadian
cedera kepala (blunt head injuries). Perdarahanterjadi dari lesi
intracranial, kira-kira sepertiga dari kejadian cedera kepala berat. Pada suatu
penelitian mengenai perdarahan subdural kronis ditemukan 1 kasus setiap 10.000
penduduk.
Pada penderita
– penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter < 1 cm),
prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari
penderita–penderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi (burr-hole
evacuation) mempunyai prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan sempurna.
Perdarahan subdural akut yang sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka
mortalitas kurang lebih 20%. Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated
SDH) biasanya mengenai parenkim otak, misalnya kontusio atau laserasi dari
serebral hemisfer disertai dengan volume hematoma yang banyak. Pada
penderita–penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan
volume subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal
yang paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio
parenkim otak.
Angka
mortalitas pada penderita – penderita dengan perdarahan subdural yang luas dan
menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi
lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian.
Walaupun demikian bila lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu
berakhir dengan kematian.
Epidemiologi
dari perdarahan subdural akut (PSD akut) serupa dengan lesi-lesi massa
intrakranial traumatik (traumatic intracranial mass lesions) lainnya. Penderita
kebanyakan adalah laki–laki dan kebanyakan umurnya lebih tua dari
penderita–penderita cedera kepala lainnya lainnya. Penyebab yang predominan
pada umumnya ialah kecelakaan kenderaan bermotor, jatuh dan perkelahian, merupakan
penyebab terbanyak, sebagian kecil disebabkan kecelakaan olahraga dan
kecelakaan industri. Genarelli dan Thibault serta Seelig dkk melaporkan bahwa
pada penderita–penderita cedera kepala berat tanpa lesi massa (mass lesion) 89%
disebabkan kecelakaan kenderaan bermotor, dan 24% dari kasus perdarahan
subdural akut disebabkan kecelakaan kenderaan bermotor. Penderita epilepsy
memiliki faktor resiko yang meningkat untuk mendapat perdarahan subdural akut
dan lesi intrakranial lainnya. Zwimpfer dkk melaporkan bahwa 3.8% dari
penderita perdarahan intrakranial mendapat kecelakaan selama serangan epilepsi
dan 85% dari perdarahan intrakranial ini adalah perdarahan subdural atau
perdarahan epidural. Seelig dkk mencatat bahwa penderita-penderita perdarahan
subdural akut sebanyak 22% dari 366 penderita cedera kepala berat. (www.blogspot.com ; 2012)
L.
PROGNOSIS
Prognosis hematoma
subdural bergantung pada tipe dan lokasi trauma kepala, ukuran hematom, dan
seberapa cepat terapi diberikan. Hematoma subdural mempunyai angka kematian dan
trauma yang tinggi. Hematoma subdural akut dan kronik mempunyai prognosis yang bagus
pada kebanyakan kasus setelah drainase hematom. Waktu rehabilitasi
kadang-kadang dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi hidup seperti semula.
Angka mortalitas
akibat hematom subdural mencapai 30%. Instrument prediksi yang digunakan di
rumah sakit pada pasien tua dengan hematoma subdural meliputi level kesadaran
dengan Glasgow Coma Scale <
7, umur > 80, pembentukan hematom berdurasi akut, dan kraniotomi.
Adanya tanda-tanda neurologi fokal dan midline
shift pada pencitraan berkaitan dengan peningkatan mortalitas di rumah
sakit. Hematom subdural yang isodens pada CT scan dipertimbangkan faktor
prognosis yang positif sedangkan jika ditemukan hipodens pada CT scan merupakan
faktor prognosis negative. Isodens mengindikasikan bahwa hematoma subdural
berdurasi pendek. Oleh karena iu otak harus lebih siap untuk buka drainase dari
hematom. ( http://www.scribd.com ; 2013)
Kasus
1 :
Nn.
Noni (20 tahun) masuk UGD dengan kecelakaan lalu lintas sepeda motor, ditemukan
pingsan, GCS 10, gelisah, mata lebam dan luka pada frontal kanan. TD 130/90
mmHg, N = 110x/menit, S = 36,2oC. Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan
yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan. Nn. Noni
diputuskan untuk dirawat diruang intermediate care. Keesokkan harinya ditemukan
klien GCS 7, N = 65x/menit, p = 10x/menit, TD = 160/100 mmHg, S = 38,5oC,
refleks pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada ekstrimitas kiri,
dan klien gelisah sekali.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian
·
Pengkajian awal ditemukan pingsan, GCS
10, gelisah, mata lebam dan luka pada frontal kanan. TD 130/90 mmHg, N =
110x/menit, S = 36,2oC. Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang cukup
banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan.
·
Keesokkan harinya ditemukan klien GCS 7,
N = 65x/menit, p = 10x/menit, TD = 160/100 mmHg, S = 38,5oC, refleks pupil
kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada ekstrimitas kiri, dan klien
gelisah sekali.
·
Dari hasil pengkajian diatas Dx medis
yang ditegakkan adalah “Hematoma subdural“.
Pemeriksaan
Fisik
a) Breathing
Kompresi
pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi
perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa
Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
( kemungkinana karena aspirasi ), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum
pada jalan napas.
Kasus:
klien menggalami penurunan pernapasan 10x/menit
b) Blood
Efek
peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Kasus:
klien mengalami pendarahan yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada
area frontal kanan, nadi: 65x/menit, TD: 160/100 mmHg
c) Brain
Gangguan
kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat
cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila
perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
ü Perubahan
status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
ü Perubahan
dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, foto fobia.
ü Perubahan
pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
ü Terjadi
penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
ü Sering
timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan
kompresi spasmodik diafragma.
ü Gangguan
nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi,
disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Kasus:
Hasil CT scan menunjukkan pada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan
durameter pada area frontal kanan. Ditemukan klien GCS 7, N = 65x/menit, p =
10x/menit, TD = 160/100 mmHg, S = 38,5oC, refleks pupil kanan/kiri midriasis,
ditemukan kelemahan pada ekstrimitas kiri, dan klien gelisah sekali.
d) Blader
Pada
cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
Kasus:
-
e) Bowel
Terjadi
penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia)
dan terganggunya proses eliminasi alvi.
Kasus:
-
f) Bone
Pasien
cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang
lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi
karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks
pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
Kasus:
Ditemukan kelemahan pada ekstrimitas kiri
2.
Diagnosa Keperawatan
d. Resiko
ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Intervensi
Keperawatan :
NOC :
·
Circulation status
·
Tissue prefusion:cerebral
Kriteria
Hasil:
1) Mendemonstrasikan
status sirkulasi yang ditandai dengan
ü Tekanna
systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
ü Tidak
ada ortosttik hipertensi
ü Tidak
ada tanda peningakatan TIK
2) Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
ü Berkomunikasidenganjelasdansesuaidengankemampuan
ü Menunjukkanperhatian,
konsentrasidanorientasi
ü Memprosesinformasi
ü Membuatkeputusandenganbenar
ü Menunjukkan
fungsi sensori motori cranial yang utuh: tingkat kesdaran membaik, tidak ada
gerakan gerakan involunter
NIC:
Peripheral
sensation management( menejemensensasiperifer)
ü Monitor
adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas dingin, tajam, tumpul
ü Monitor
adanya paratese
ü Instrusikan
keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lesi atau laserasi
ü Batasi
gerakan pada kepala, leher dan punggung
ü Monitor
kemmapuan BAB
ü Kolaborasi
pemberian analgetik
ü Monitor
adanya trombo plebitis
ü Diskusikan
mengenai penyebab perubahan sensasi
DAFTAR
PUSTAKA
Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi
Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat
R.Sjamsuhidayat,Wim
de Jong. 2010. “ Trauma dan Bencana” Dalam: R.Sjamsuhidayat, Warko Karnadiharja,
Thaddeneus O.H.Prasetyono, Reno Rudiman,editor: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: EGC:
Doenges M.E. (2000) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care
(2 nd ed). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A
Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala.
Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.
Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.
Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar