THYPOID FEVER
Vinsensius
Bate: Manggarai,NTT
A.
Konsep Dasar
- Pengertian
Thypoid
fever/demam tifoid atau thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada
usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (T.H. Rampengan dan
I.R. Laurentz, 1995). Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi.
- Anatomi dan Fisiologi
Saluran pencernaan makanan adalah saluran
yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh
dengan jalan proses pencernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan
enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus. (Syaifuddin, 1997 ; 87)
Saluran pencearnaan merupakan jalur ( panjang totalnya 23-26 kaki )
yang berjalan dari mulut melalui esofagus, lambung, usus dan anus (Brunner and
Suddart, 2002 ; 984)
Fungsi utama dari sistem saluran
pencernaan adalah:
a. Memecahkan partikel makanan ke dalam
bentuk molekuler untuk di cerna.
b.
Mengabsorbsi
hasil pencernaan dalam bentuk molekul kecil ke dalam aliran darah.
c.
Mengeliminasi
makanan yang tidak tercerna dan terabsorbsi dan produk sisa lain dari tubuh.
(Brunner and Suddart, 2002 ; 984)
Saluran pencernaan terdiri dari : oris
(mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan), ventrikulus (lambung),
intestinum minor (usus halus) terdiri dari dua denum (usus 12 jari), yeyunum
dan ileum, intestinum mayor (usus besar) terdiri dari seikum, kolon asendens,
kolon transversum, kolon desendens dan kolon sigmoid, rektum dan
anus.(Syaifuddin, 1997 ; 87)
a. Mulut
Mulut adalah rongga lonjong pada permukaan saluran pencernaan,
terdiri atas dua bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang diantara
gusi serta gigi dengan bibir dan pipi. Bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi sisi-sisinya oleh tulang
maksilaris dan semua gigi dan disebelah belakang bersambung dengan awal faring.
(Pearce, 2002 ; 177)
1) Bibir
Bibir tersusun dari otot rangka
(orbikularis mulut) dan jaringan ikat. Organ ini
berfungsi untuk menerima makanan dan produksi wicara.
2) Lidah
Lidah adalah otot serat lintang dan
dilapisi oleh selaput yang liar, kerja otot lidah ini dapat digerakkan ke
segala arah. (Syaifuddin, 1997 ; 76).Lidah berfungsi untuk menggerakkan makanan
saat dikunyah atau ditelan, untuk pengecapan dan dalam produksi wicara.
3) Gigi.
Gigi tersusun dalam kantong-kantong
(alveoli) pada mandibula dan maksila. Bagian terbesar gigi berasal dari
mesoderm dan bagian lainnya dari ektoderm. Pada manusia dibedakan dua macam
gigi. Gigi primer terdapat pada anak berjumlah lima buah pada setiap setengah
rahang (jumlah seluruhnya 20). Gigi sekunder mulai keluar pada usia 5-6 tahun
total keseluruhan 32 buah. Gigi berfungsi dalam proses mastikasi. Makanan yang
masuk dalam mulut dipotong menjadi bagian-bagian kecil dan bercampur dengan
sarifah membentuk bolus makanan yang dapat ditelan. (Sloane,
2003 ; 284)
4) Kelenjar saliva.
Terdiri dari cairan encer yang mengandung
enzim dan cairan kental yang mengandung mukus.
Fungsi saliva :
a) Melarutkan makanan secara kimia untuk
pengecapan rasa
b) Melembabkan dan melumasi makanan sehingga
dapat ditelan, juga memberikan kelembaban pada bibir dan lidah sehingga
terhindar dari kekeringan.
c) Amilase pada saliva mengurai zat tepung
menjadi polisakarida dan maltosa.
d) Zat buangan seperti asam urat dan urea,
serta berbagai zat lain seperti obat, virus, dan logam diekskresi ke dalam
saliva.
Zat anti bakteri dan antibodi dalam saliva
berfungsi untuk membersihkan rongga oral dan membantu memelihara kesehatan oral
serta mencegah kerusakan gigi. (Sloane, 2003 ; 283)
b. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan
rongga mulut dengan kerongkongan (esofagus). Di dalam lengkung faring terdapat
tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit
dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. (Syaifuddin, 1997; 76)
Proses menelan (deglutisi) menggerakkan
makanan dari faring menuju esofagus. Aksi penelanan meliputi tiga fase :
1) Fase volunter. Lidah menekan palatum keras
saat rahang menutup dan mengarahkan bolus ke arah orofaring.
2) Fase faring. Bolus makanan dalam faring
merangsang reseptor orofaring yang mengirim impuls ke pusat menelan dalam
medulla dan batang otak bagian bawah. Reflek yang terjadi adalah penutupan
semua lubang kecuali esofagus sehingga makanan bisa masuk.
3) Fase esofagus. Suatu area sempit otot
polos pada ujung bawah esofagus dalam kontraksi tonus yang konstan, berelaksasi
setelah melakukan gelombang peristaltik dan memungkinkan makanan terdorong ke
lambung. (Sloane, 2003 ; 285)
c. Esofagus
Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya 20-25 cm,
diatas mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak lambung bawah. (Pearce, 1999 ; 182). Fungsi esofagus
menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak peristaltis. Mukosa
esofagus memproduksi sejumlah besar mukus. Untuk melumasi dan melindungi
esofagus. Esofagus tidak memproduksi enzim pencernaan.
(Sloane, 2003 ; 285)
d. Lambung
Lambung adalah organ berbentuk J, terletak pada bagian superior kiri
rongga abdomen di bawah diafragma. Regia-regia lambung terdiri dari:
1) Bagian jantung lambung adalah area disekitar pertemuan esofagus dan
lambung (pertemuan gastroesofagus).
2) Fundus lambung adalah bagian yang menonjol
ke sisi kiri atas mulut esofagus.
3) Badan lambung adalah bagian yang terdilatasi dibawah fudus membentuk
2/3 bagian lambung.
4) Pilorus lambung menyempit diujung bawah lambung dan membuka keduodenum.
Fungsi lambung :
1)
Penyimpanan makanan
2)
Produksi
kimus. Aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus (massa homogen
setengah cair, berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus) dan mendorongnya
ke dalam duodenum.
3)
Digesti protein
4)
Produksi mukus
5)
Produksi faktor intrinsik
a)
Faktor
intrinsik adalah glikoprotein yang disekresi sel parietal
b)
Vitamin
B12, didapat dari makanan yang dicerna dilambung terikat pada faktor
intrinsik
6)
Absorpsi
e.
Usus Halus
Usus halus panjangnya 22 ft dan
diameternya 1 inci. Usus halus terdiri atas tiga
bagian:
1)
Duodenum
dimulai pada katup pyloric pada perut dan panjangnya sekitar 25 cm (10 inci)
sampai bersatu pada yeyenum.
2)
Yeyenum,
panjangnya 2,5 m (8 ft) dan terletak pada pertengahan bagian usus halus sampai
ke ileum.
3)
Ileum
panjangnya 3,6 m (12 ft) ini adalah bagian terakhir. Ileum menyatu dengan kolon
pada katup ileocecal. Katup ini mengontrol aliran menuju usus besar dan
mencegah refluk kembali ke usus halus.
Empat lapisan yang
melindungi usus halus:
1) Tunica
serosa
2) Tunica muscularis
3) Tela submucosa
4) Tunica mucosa
(Black Joyce, 1997 ; 1690)
Adapun fungsi usus halus adalah sebagai berikut :
1) Menerima zat-zat makanan yang sudah
dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
2) Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
3) Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida
4) Usus halus secara selektif mengabsorpsi produk digesti.
Didalam usus halus terdapat kelenjar yang
menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan, yaitu :
1) Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik
2) Eripsin, menyempurnakan pencernaan protein
menjadi asam amino.
(Syaifuddin, 1997 ; 79)
f.
Pankreas
Pankreas
adalah kelenjar majemuk bertandan strukturnya sangat mirip dengan kelenjar
ludah, panjangnya + 15 cm, mulai dari duodenum sampai limfa. Terdiri atas tiga bagian; kepala pankreas,
badan pankreas dan ekor pankreas. (Pearce, 1969 ; 207)
Fungsi pankreas adalah sebagai berikut :
1)
Fungsi eksokrin
2)
Fungsi endokrin
3)
Fungsi sekresi eksternal
4)
Fungsi sekresi internal
(Syafuddin, 1997 ; 84)
g.
Usus Besar
Panjang usus besar + 180 cm. Memiliki vili, tidak memiliki
plicae circulares (lipatan-lipatan sirkular) dan diameternya lebih besar, panjangnya
lebih pendek, dan daya regangnya lebih besar dibandingkan usus halus.
(Tambayong,
2001 ; 66)
Lapisan-lapisan usus besar dari dalam
keluar ; selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang dan
jaringan ikat. (Syaifuddin, 1997 ; 80)
Bagian-bagian usus besar :
1)
Sekum
Adalah kantong tertutup yang menggantung dibawah area katup ileosekal. Apendiks
vermiform, suatu tabung buntu yang sempit berisi jaringan limfoid, menonjol
dari ujung sekum.
2)
Kolon
adalah bagian usus besar dari sekum sampai rektum. Kolon
memiliki tiga divisi;
a)
Kolon
asendens, merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hati disebelah kanan dan
membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
b)
Kolon
transversum, merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke
tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada fleksura splenik.
c)
Kolon
desendens, merentang kebawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid
berbentuk S yang bermuara di rektum.
3) Rektum
Rektum adalah bagian saluran pencernaan
dengan panjang 12-13 cm. rektum bermula pada pertengahan sakrum dan berakhir
pada kanalis analis
Fungsi usus besar :
a) Usus besar mengabsorbsi 80 % - 90 % air
dan elektrolit.
b) Usus besar hanya memproduksi mukus.
c) Sejumlah bakteri dalam kolon mampu
mencerna sejumlah kecil selulosa dan memproduksi sedikit kalori nutrien bagi
tubuh dalam setiap hari.
d) Usus besar mengekresikan zat sisa dalam
bentuk feces.
(Sloane, 2003 ;
295)
- Etiologi
Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi kuman Samonella
Thposa/Eberthela Thyposa yang merupakan kuman negatif, motil dan tidak
menghasilkan spora, hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang
lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 700C dan antiseptik.
Salmonella mempunyai tiga macam antigen, yaitu Antigen O= Ohne Hauch=somatik
antigen (tidak menyebar) ada dalam dinding sel kuman, Antigen H=Hauch
(menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil dan Antigen
V1=kapsul ; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen
terhadap fagositosis. Ketiga jenis antigen ini di manusia akan menimbulkan tiga
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
- Patofisiologi.
Kuman salmonella
masuk bersama makanan/minuman yang terkontaminasi, setelah berada dalam usus
halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer)
dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis
setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju
organ retikuloendotelial sistem (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini
kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit
berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah
menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke
organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut
dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan
reinfeksi usus. Dalam masa
bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin. Endotoksin ini merangsang sintesa
dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya
zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di
hipothalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Makrofag pada pasien akan menghasilkan substansi aktif yang disebut
monokines yang menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang imun sistem,
instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Infiltrasi jaringan
oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosist sudah berdegenerasi
yang dikenal sebagai tifoid sel. Bila sel ini beragregasi maka terbentuk nodul
terutama dalam usus halus, jaringan
limfe mesemterium, limpa, hati, sumsum tulang dan organ yang terinfeksi.
Kelainan utama yang terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang
hiperplasi (minggu I), nekrosis (minggu II) dan ulserasi (minggu III). Pada
dinding ileum terjadi ulkus yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi
intestinal. Bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut.
|
![]() |
![]() |
|||||
![]() |
|||||
|
- Gejala klinis
Masa inkubasi
7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari (T.H. Rampengan dan
I.R. Laurentz, 1995). Rata-rata masa inkubasi 14 hari dengan gejala klinis
sangat bervariasi dan tidak spesifik (Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1994).
Walaupun gejala
bervariasi secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam :
demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gnagguan
kesadaran. Dalam minggu pertama : demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, konstipasi dan suhu badan meningkat (39-410C). Setelah minggu
kedua gejala makin jelas berupa demam remiten, lidah tifoid dengan tanda antara
lain nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih
pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan nyeri
tekan pada perut kanan bawah dan mungkin disertai gangguan kesadaran dari
ringan sampai berat seperti delirium.
Roseola (rose spot), pada kulit
dada atau perut terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman
salmonella.
- Pemeriksaan Diagnostik Dan Hasil
a.
Jumlah leukosit normal/leukopenia/leukositosis.
b.
Anemia ringan, LED meningkat,
SGOT, SGPT dan fsofat alkali meningkat.
c.
Minggu pertama biakan darah S.
Typhi positif, dalam minggu berikutnya menurun.
d.
Biakan
tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga.
e.
Kenaikan
titer reaksi widal 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang memastikan diagnosis.
Pada reaksi widal titer aglutinin O dan H meningkat sejak minggu kedua. Titer reaksi widal diatas 1 : 200 menyokong diagnosis.
- Penatalaksanaan
a.
Tirah
baring atau bed rest.
b.
Diit
lunak atau diit padat rendah selulosa (pantang sayur dan buahan), kecuali
komplikasi pada intestinal.
c.
Obat-obat :
Antimikroba
:
1)
Kloramfenikol 4 X 500 mg
sehari/iv
2)
Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari
oral
3)
Kotrimoksazol 2 X 2 tablet
sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol 400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis
yang sama iv, dilarutkan dalam 250 ml cairan infus.
4)
Ampisilin atau amoksisilin 100
mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi dalam 3 atau 4 dosis.
d.
Antimikroba diberikan selama 14
hari atau sampai 7 hari bebas demam.
1)
Antipiretik seperlunya
2)
Vitamin B kompleks dan vitamin
C
e.
Mobilisasi
bertahap setelah 7 hari bebas demam.
- Komplikasi.
a.
Komplikasi intestinal
1)
Perdarahan usus
2)
Perporasi usus
3)
Ilius paralitik
b.
Komplikasi extra intestinal
1)
Komplikasi kardiovaskuler :
kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
2)
Komplikasi darah : anemia
hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
3)
Komplikasi paru : pneumonia,
empiema, dan pleuritis.
4)
Komplikasi pada hepar dan
kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5)
Komplikasi ginjal : glomerulus
nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6)
Komplikasi pada tulang :
osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7)
Komplikasi neuropsikiatrik :
delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillain bare
dan sidroma katatonia.
- Prognosis
Bila penyakit berat,
pengobatan terlambat / tidak adekuat atau ada komplikasi berat, prognosis
meragukan/buruk Prognosis tergantung ada umur, keadaan umum, gizi, derajat
kekebalan penderita, cepat dan tepatnya pengobatan serta komplikasi yang ada.
- Epidemiologi
·
Demam thypoid di jumpai di kosmopolitan terutama di
negaa sedang berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi serta kesahatan
lingkungan yang tidak memenuhi syarat.
·
Insiden demam typhoid pada tahun 1985 di Indonesia
sebagai berikut : 25,32% (umur 1 – 4 th), 35,59% (umur 5 – 9 th), dan 39, 09%
(umur 10-14th).
·
Angka kejadian penyakit ini tidak berbeda antaraank
laki – laki dan perempuan.
·
Umur penderita yang terkena di indonesia dilaorkan
antara 3 –19 th mencapai 91%
·
Pengaruh cuaca terutama meningkat pada musim hujan,
sedangkan darikepustakaan barat dilaporkan terutama pasa musim panas.
- Pencegahan
1.
Sanitasi diperbaiki dan bersih
2.
Air mengalir dengan baik
3.
Personal hygiene ditinggatkan
4.
Cuci tangan
5.
Perhatikan praktek-praktek persiapan makanan yang akan
disiapkan
B.
Konsep Keperawatan
1.
Pengkajian
a.
Riwayat : makan daging, telur
yang tidak dimasak, atau minuman yang terkontaminasi.
b.
Gastrointestinal
: awal mual dan muntah, nyeri abdomen dan diare, distensi abdomen, pembesaran
limpa.
c.
Suhu
tubuh : pada fase akut demam 39-400C, meningkat hingga 410C.
d.
Kulit
: rose spot dimana hilang dengan tekanan, ditemukan pada dada, perut setelah
minggu pertama.
e.
Neurologis
: delirium hingga stupor, perubahan kepribadian, katatonia, aphasia.
f.
Pernapasan : batuk non
produktif.
g.
Muskuloskeletal : nyeri sendi
h.
Kardiovaskuler : takikardi,
hipotensi, dan shock jika perdarahan, infeksi senkunder atau septikemia.
2.
Diagnosa Keperawatan
a.
Hipertemia b/d proses infeksi
salmonella thyposa
b.
Defisit volume cairan b/d
pemasukan yang kurang, mual, muntah/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas
tubuh
c.
Resiko ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake kurang akibat mual, muntah,
anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.
d.
Gangguan pola defeksi : diare
b/d proses peradangan pada dinding usus halus
3.
Perencanaan Keperawatan
No
|
Diagnosa keperawatan
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
1
|
Hipertemia b/d proses infeksi
salmonella thyposa
-
|
NOC : Thermoregulation
Kriteria Hasil :
v Suhu tubuh dalam
rentang normal
v Nadi dan RR
dalam rentang normal
v Tidak ada
perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman
|
NIC :
Fever treatment
§ Monitor suhu
sesering mungkin
§ Monitor IWL
§ Monitor warna
dan suhu kulit
§ Monitor tekanan
darah, nadi dan RR
§ Monitor
penurunan tingkat kesadaran
§ Monitor WBC, Hb,
dan Hct
§ Monitor intake
dan output
§ Kolaborasi
pemberian anti piretik
§ Berikan
pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
§ Selimuti pasien
§ Lakukan tapid
sponge
§ Kolaboraikan
dengan dokter mengenai pemberian cairan intravena sesuai program
§ Kompres pasien
pada lipat paha dan aksila
§ Tingkatkan
sirkulasi udara
§ Berikan
pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil
Temperature regulation
§ Monitor suhu minimal
tiap 2 jam
§ Rencanakan
monitoring suhu secara kontinyu
§ Monitor TD,
nadi, dan RR
§ Monitor warna
dan suhu kulit
§ Monitor
tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
§ Tingkatkan
intake cairan dan nutrisi
§ Selimuti pasien
untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
§ Ajarkan pada
pasien cara mencegah keletihan akibat panas
§ Diskusikan
tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari
kedinginan
§ Beritahukan
tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang diperlukan
§ Ajarkan indikasi
dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan
§ Berikan anti
piretik jika perlu
Vital sign Monitoring
§ Monitor TD,
nadi, suhu, dan RR
§ Catat adanya
fluktuasi tekanan darah
§ Monitor VS saat
pasien berbaring, duduk, atau berdiri
§ Auskultasi TD
pada kedua lengan dan bandingkan
§ Monitor TD,
nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
§ Monitor kualitas
dari nadi
§ Monitor
frekuensi dan irama pernapasan
§ Monitor suara
paru
§ Monitor pola
pernapasan abnormal
§ Monitor suhu,
warna, dan kelembaban kulit
§ Monitor sianosis
perifer
§ Monitor adanya
cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
§ Identifikasi
penyebab dari perubahan vital sign
|
2
|
Defisit
volume cairan b/d pemasukan yang kurang, mual, muntah/pengeluaran yang
berlebihan, diare, panas tubuh
-
|
NOC:
v Fluid balance
v Hydration
v Nutritional
Status : Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
v Mempertahankan
urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal
v Tekanan darah,
nadi, suhu tubuh dalam batas normal
v Tidak ada tanda
tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak
ada rasa haus yang berlebihan
|
Fluid
management
·
Timbang popok/pembalut jika diperlukan
·
Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
·
Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan
darah ortostatik ), jika diperlukan
·
Monitor vital sign
·
Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
·
Lakukan terapi IV
·
Monitor status nutrisi
·
Berikan cairan
·
Berikan cairan IV pada suhu ruangan
·
Dorong masukan oral
·
Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
·
Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
·
Tawarkan
snack ( jus buah, buah segar )
·
Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
·
Atur kemungkinan tranfusi
·
Persiapan untuk tranfusi
|
3
|
Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh b/d intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau
output yang berlebihan akibat diare.
-
|
NOC :
v Nutritional
Status : food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
v Adanya
peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
v Berat badan
ideal sesuai dengan tinggi badan
v Mampu
mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
v Tidak ada tanda
tanda malnutrisi
v Tidak terjadi
penurunan berat badan yang berarti
|
Nutrition Management
§ Kaji adanya
alergi makanan
§ Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
§ Anjurkan pasien
untuk meningkatkan intake Fe
§ Anjurkan pasien
untuk meningkatkan protein dan vitamin C
§ Berikan
substansi gula
§ Yakinkan diet
yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
§ Berikan makanan
yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
§ Ajarkan pasien
bagaimana membuat catatan makanan harian.
§ Monitor jumlah
nutrisi dan kandungan kalori
§ Berikan
informasi tentang kebutuhan nutrisi
§ Kaji kemampuan
pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
§ BB pasien dalam
batas normal
§ Monitor adanya
penurunan berat badan
§ Monitor tipe dan
jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
§ Monitor
interaksi anak atau orangtua selama makan
§ Monitor
lingkungan selama makan
§ Jadwalkan
pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
§ Monitor kulit
kering dan perubahan pigmentasi
§ Monitor turgor
kulit
§ Monitor
kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
§ Monitor mual dan
muntah
§ Monitor kadar
albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
§ Monitor makanan
kesukaan
§ Monitor
pertumbuhan dan perkembangan
§ Monitor pucat,
kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
§ Monitor kalori
dan intake nuntrisi
§ Catat adanya
edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.
§ Catat jika lidah
berwarna magenta, scarlet
|
4
|
Gangguan pola defeksi : diare b/d
proses peradangan pada dinding usus halus
|
NOC:
v Bowel
elimination
v Fluid Balance
v Hydration
v Electrolyte and
Acid base Balance
Kriteria Hasil :
v Feses berbentuk,
BAB sehari sekali- tiga hari
v Menjaga daerah
sekitar rectal dari iritasi
v Tidak mengalami
diare
v Menjelaskan
penyebab diare dan rasional tendakan
v Mempertahankan
turgor kulit
|
NIC :
Diarhea Management
v Evaluasi efek
samping pengobatan terhadap gastrointestinal
v Ajarkan pasien
untuk menggunakan obat antidiare
v Instruksikan
pasien/keluarga untukmencatat warna, jumlah, frekuenai dan konsistensi dari
feses
v Evaluasi intake
makanan yang masuk
v Identifikasi
factor penyebab dari diare
v Monitor tanda
dan gejala diare
v Observasi turgor
kulit secara rutin
v Ukur
diare/keluaran BAB
v Hubungi dokter
jika ada kenanikan bising usus
v Instruksikan
pasien untukmakan rendah serat, tinggi protein dan tinggi kalori jika
memungkinkan
v Instruksikan
untuk menghindari laksative
v Ajarkan tehnik
menurunkan stress
v Monitor
persiapan makanan yang aman
|
4.
Evaluasi
Berdasarkan
implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan untuk klien dengan
gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital stabil, kebutuhan
cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi hipertermia, klien
dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri.
5.
Pendidikan Kesehatan
SATUAN
ACARA PENYULUHAN
(SAP)
Tema :
Sistem Pencernaan
Sub Tema :
Penyakit thypoid
Sasaran :
Orangtua An. D
Tempat :
Rumah Sakit Bethesda
Hari/Tanggal :
Kamis, 28 Februari 2013
Waktu : 30 Menit
A. Tujuan
Instruksional Umum
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit orangtua An. D
diharapkan dapat menjelaskan penyakit thypoid
B. Tujuan
Instruksional Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30
menit, diharapkan Klien dapat:
1.
Menjelaskan
pengertian penyakit thypoid
dengan benar
2.
Menyebutkan
faktor penyebab yang dapat menimbulkan penyakit thypoid
3.
Menyebutkan
tanda/gejala dari penyakit thypoid
4.
Menjelaskan
penatalaksanaan penyakit thypoid
5.
Menjelaskan
patofisiologi penyakit thypoid
C. Materi
1.
Pengertian
penyakit thypoid
2.
Faktor
penyebab dari penyakit thypoid
3.
Tanda/gejala
penyakit thypoid
4.
Penatalaksanaan
penyakit thypoid
5.
Patofisiologi
penyakit thypoid
D. Metode
1.
Ceramah
2.
Tanya
jawab
E. Kegiatan
Penyuluhan
No
|
Kegiatan
|
Penyuluh
|
Peserta
|
Waktu
|
1.
|
Pembukaan
|
·
Salam pembuka
·
Menyampaikan tujuan penyuluhan
|
·
Menjawab salam
·
Menyimak,
Mendengarkan, menjawab pertanyaan
|
5 Menit
|
2.
|
Kerja/ isi
|
·
Penjelasan pengertian, penyebab, gejala,
penatalaksanaan dan patofisiologi penyakit
thypoid
· Memberi kesempatan
peserta untuk bertanya
· Menjawab pertanyaan
· Evaluasi
|
·
Mendengarkan dengan penuh perhatian
·
Menanyakan hal-hal yang belum jelas
·
Memperhatikan jawaban dari penceramah
·
Menjawab pertanyaan
|
15
menit
|
3.
|
Penutup
|
·
Menyimpulkan
·
Salam penutup
|
·
Mendengarkan
·
Menjawab salam
|
10 Menit
|
F. Media
Leaflet:
Tentang penyakit Hirschsprung
G. Evaluasi
Formatif:
1.
Klien
dapat menjelaskan pengertian penyakit thypoid
2.
Klien
mampu menjelaskan faktor penyebab dari penyakit thypoid
3.
Klien
dapat menjelaskan tanda/gejala penyakit thypoid
4.
Klien mampu menjelaskan penatalaksanaan penyakit thypoid
Sumatif:
Klien dapat memahami penyakit penyakit
thypoid
Yogyakarta, 3 Maret 2013
Pembimbing Penyuluh
(-------------------------------) (---------------------------------)
6.
Aspek legal etik
Advokat
Membela hak klien dengan: Memberikan perawatan sebaik
mungkin kepada pasien. Jika dalam melakukan suatu tindakan, pasien tidak
didampingi oleh keluarga nya atau kerabat dekat nya maka sebagai perawat kita
dapat meminta persetujuan dari pasien itu sendiri bila masih dalam keadaan
sadar, sehingga bukti hukum menjadi kuat dan semua tindakan dilakukan secara
legal.
Kode
Etik
a.
Kita
harus memberikan informasi yang sebenarnya mengenai keadaan atau kondisi
pasien..
b.
Memberikan
tindakan keperawatan sesuai prosedur perawatan dan penuh tanggungjawab.
c.
Memberikan
tindakan tanpa membedakan antara pasien yang satu dengan yang lainnya.
d.
Menjaga
privasi pasien mengenai penyakitnya.
7.
Journal
Judul : Karena demam
tifoid ileum perforasi - Ulasan manajemen operasi dan hasil di pusat kota di
Nigeria.
Ugochukwu AI, Amu OC, Nzegwu MA.
Sumber
Departemen Bedah, Enugu State University, Teaching Hospital, Enugu, Nigeria.
Abstrak
LATAR BELAKANG:
Departemen Bedah, Enugu State University, Teaching Hospital, Enugu, Nigeria.
Abstrak
LATAR BELAKANG:
Manajemen perforasi ileum tifoid adalah tugas yang
menantang di lingkungan kita. Kurangnya basis kejadian data dan sumber daya
keuangan yang buruk menghalangi pencegahan yang memadai dari ancaman kesehatan
masyarakat.
TUJUAN:
Untuk saat ini fokus akan tetap manajemen yang efektif dan strategis dari komplikasi ini untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Untuk saat ini fokus akan tetap manajemen yang efektif dan strategis dari komplikasi ini untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
METODE:
86 kasus perforasi ileum tipus terlihat selama periode dua tahun. Sebagian besar anak laki-laki dan laki-laki dewasa muda. Pengumpulan data adalah dengan mengambil informasi dari catatan medis dari Enugu State University Sains dan Teknologi Pengajaran Rumah Sakit (ESUTH). Semua diresustasi dengan cairan 1V, antibiotik iv, hisap tabung nasogastrik dan di mana transfusi darah ditunjukkan. Mayoritas memiliki bakteriologi, biokimia, penyelidikan hematologis dan radiologi. Laparotomi dilakukan setelah resusitasi yang memadai.
86 kasus perforasi ileum tipus terlihat selama periode dua tahun. Sebagian besar anak laki-laki dan laki-laki dewasa muda. Pengumpulan data adalah dengan mengambil informasi dari catatan medis dari Enugu State University Sains dan Teknologi Pengajaran Rumah Sakit (ESUTH). Semua diresustasi dengan cairan 1V, antibiotik iv, hisap tabung nasogastrik dan di mana transfusi darah ditunjukkan. Mayoritas memiliki bakteriologi, biokimia, penyelidikan hematologis dan radiologi. Laparotomi dilakukan setelah resusitasi yang memadai.
HASIL:
Sebagian besar sudah demam selama 2-6weeks sebelum masuk, dengan mayoritas yang telah diberi label kasus malaria resisten. Kebanyakan disajikan lebih dari 24 jam setelah onset peritonitis dan karena itu dieksplorasi akhir, beberapa sebagai larut 96 h. Pada laparotomi 97% memiliki volume yang besar dari nanah dan isi usus kecil dalam rongga peritoneal dan 3% telah dilokalisasi abses intraabdominal. Tidak ada upaya penyembuhan atau lokalisasi omentum perforasi diamati. Lima puluh dua pasien (60,5%) mengalami penutupan yang sederhana, 18 (21%) memiliki reseksi ileum dan enteroanastomosis, 7 (8,1%) memiliki tabung ileostomy, 5 (5,8%) memiliki jahitan primer dan proksimal ileo-melintang anastomosis dan 4 (4,7% ) hemicolectomy hak terbatas. Semua memiliki peritoneal lavage liberal dengan normal saline. Kelompok yang disajikan relatif awal, dengan perubahan patologis yang minimal, memiliki jahitan primer dan mortalitas pada kelompok ini adalah 11,5%. Kelompok dengan perubahan patologis kotor terlihat terutama pada pasien yang disajikan akhir memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi, bahkan setinggi 50%. Namun angka kematian kami secara keseluruhan adalah 18,6%.
Sebagian besar sudah demam selama 2-6weeks sebelum masuk, dengan mayoritas yang telah diberi label kasus malaria resisten. Kebanyakan disajikan lebih dari 24 jam setelah onset peritonitis dan karena itu dieksplorasi akhir, beberapa sebagai larut 96 h. Pada laparotomi 97% memiliki volume yang besar dari nanah dan isi usus kecil dalam rongga peritoneal dan 3% telah dilokalisasi abses intraabdominal. Tidak ada upaya penyembuhan atau lokalisasi omentum perforasi diamati. Lima puluh dua pasien (60,5%) mengalami penutupan yang sederhana, 18 (21%) memiliki reseksi ileum dan enteroanastomosis, 7 (8,1%) memiliki tabung ileostomy, 5 (5,8%) memiliki jahitan primer dan proksimal ileo-melintang anastomosis dan 4 (4,7% ) hemicolectomy hak terbatas. Semua memiliki peritoneal lavage liberal dengan normal saline. Kelompok yang disajikan relatif awal, dengan perubahan patologis yang minimal, memiliki jahitan primer dan mortalitas pada kelompok ini adalah 11,5%. Kelompok dengan perubahan patologis kotor terlihat terutama pada pasien yang disajikan akhir memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi, bahkan setinggi 50%. Namun angka kematian kami secara keseluruhan adalah 18,6%.
KESIMPULAN:
Para penulis menegaskan bahwa perforasi ileum tifus harus diperlakukan pembedahan. Awal presentasi dan diagnosis, resusitasi yang memadai, operasi cepat dan kuat pasca-operasi manajemen tingkat kematian lebih baik. Jelas keterlambatan dalam presentasi yang memerlukan resusitasi berkepanjangan dan karena itu tertunda kematian bedah terkena.
Para penulis menegaskan bahwa perforasi ileum tifus harus diperlakukan pembedahan. Awal presentasi dan diagnosis, resusitasi yang memadai, operasi cepat dan kuat pasca-operasi manajemen tingkat kematian lebih baik. Jelas keterlambatan dalam presentasi yang memerlukan resusitasi berkepanjangan dan karena itu tertunda kematian bedah terkena.
Daftar
Pustaka
Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year Book, Toronto.
Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak,
cetakan kedua, EGC, Jakarta.
Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing
for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company,
London.
Soegianto, Soegeng. 2002. Ilmu Penyakit Anak. Jakarta : Salemba
Medika
Ngastyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Rampengan. 2008. Penyakit Infeksi Tropic Pada Anak. Jakarta : EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar