Jumat, 05 Desember 2014

ASKEP thypus abdominalis

THYPOID FEVER
 
Vinsensius Bate: Manggarai,NTT
A.    Konsep Dasar
  1. Pengertian
Thypoid fever/demam tifoid atau thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
  1. Anatomi dan Fisiologi
Saluran pencernaan makanan adalah saluran yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses pencernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus. (Syaifuddin, 1997 ; 87)
Saluran pencearnaan merupakan jalur ( panjang totalnya 23-26 kaki ) yang berjalan dari mulut melalui esofagus, lambung, usus dan anus (Brunner and Suddart, 2002 ; 984)
Fungsi utama dari sistem saluran pencernaan adalah:
a.       Memecahkan partikel makanan ke dalam bentuk molekuler untuk di cerna.
b.      Mengabsorbsi hasil pencernaan dalam bentuk molekul kecil ke dalam aliran darah.
c.       Mengeliminasi makanan yang tidak tercerna dan terabsorbsi dan produk sisa lain dari tubuh. (Brunner and Suddart, 2002 ; 984)
Saluran pencernaan terdiri dari : oris (mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan), ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus halus) terdiri dari dua denum (usus 12 jari), yeyunum dan ileum, intestinum mayor (usus besar) terdiri dari seikum, kolon asendens, kolon transversum, kolon desendens dan kolon sigmoid, rektum dan anus.(Syaifuddin, 1997 ; 87)
a.       Mulut
Mulut adalah rongga lonjong pada permukaan saluran pencernaan, terdiri atas dua bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang diantara gusi serta gigi dengan bibir dan pipi. Bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi sisi-sisinya oleh tulang maksilaris dan semua gigi dan disebelah belakang bersambung dengan awal faring. (Pearce, 2002 ; 177)


1)      Bibir
Bibir tersusun dari otot rangka (orbikularis mulut) dan jaringan ikat. Organ ini berfungsi untuk menerima makanan dan produksi wicara.
2)       Lidah
Lidah adalah otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput yang liar, kerja otot lidah ini dapat digerakkan ke segala arah. (Syaifuddin, 1997 ; 76).Lidah berfungsi untuk menggerakkan makanan saat dikunyah atau ditelan, untuk pengecapan dan dalam produksi wicara.
3)       Gigi.
Gigi tersusun dalam kantong-kantong (alveoli) pada mandibula dan maksila. Bagian terbesar gigi berasal dari mesoderm dan bagian lainnya dari ektoderm. Pada manusia dibedakan dua macam gigi. Gigi primer terdapat pada anak berjumlah lima buah pada setiap setengah rahang (jumlah seluruhnya 20). Gigi sekunder mulai keluar pada usia 5-6 tahun total keseluruhan 32 buah. Gigi berfungsi dalam proses mastikasi. Makanan yang masuk dalam mulut dipotong menjadi bagian-bagian kecil dan bercampur dengan sarifah membentuk bolus makanan yang dapat ditelan. (Sloane, 2003 ; 284)
4)      Kelenjar saliva.
Terdiri dari cairan encer yang mengandung enzim dan cairan kental yang mengandung mukus.
Fungsi saliva :
a)      Melarutkan makanan secara kimia untuk pengecapan rasa
b)      Melembabkan dan melumasi makanan sehingga dapat ditelan, juga memberikan kelembaban pada bibir dan lidah sehingga terhindar dari kekeringan.
c)      Amilase pada saliva mengurai zat tepung menjadi polisakarida dan maltosa.
d)     Zat buangan seperti asam urat dan urea, serta berbagai zat lain seperti obat, virus, dan logam diekskresi ke dalam saliva.
Zat anti bakteri dan antibodi dalam saliva berfungsi untuk membersihkan rongga oral dan membantu memelihara kesehatan oral serta mencegah kerusakan gigi. (Sloane, 2003 ; 283)


b.      Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan (esofagus). Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. (Syaifuddin, 1997; 76)
Proses menelan (deglutisi) menggerakkan makanan dari faring menuju esofagus. Aksi penelanan meliputi tiga fase :
1)      Fase volunter. Lidah menekan palatum keras saat rahang menutup dan mengarahkan bolus ke arah orofaring.
2)      Fase faring. Bolus makanan dalam faring merangsang reseptor orofaring yang mengirim impuls ke pusat menelan dalam medulla dan batang otak bagian bawah. Reflek yang terjadi adalah penutupan semua lubang kecuali esofagus sehingga makanan bisa masuk.
3)      Fase esofagus. Suatu area sempit otot polos pada ujung bawah esofagus dalam kontraksi tonus yang konstan, berelaksasi setelah melakukan gelombang peristaltik dan memungkinkan makanan terdorong ke lambung. (Sloane, 2003 ; 285)
c.       Esofagus
Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya 20-25 cm, diatas mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak lambung bawah. (Pearce, 1999 ; 182). Fungsi esofagus menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak peristaltis. Mukosa esofagus memproduksi sejumlah besar mukus. Untuk melumasi dan melindungi esofagus. Esofagus tidak memproduksi enzim pencernaan. (Sloane, 2003 ; 285)
d.      Lambung
Lambung adalah organ berbentuk J, terletak pada bagian superior kiri rongga abdomen di bawah diafragma. Regia-regia lambung terdiri dari:
1)      Bagian jantung lambung adalah area disekitar pertemuan esofagus dan lambung (pertemuan gastroesofagus).
2)      Fundus lambung adalah bagian yang menonjol ke sisi kiri atas mulut esofagus.
3)      Badan lambung adalah bagian yang terdilatasi dibawah fudus membentuk 2/3 bagian lambung.
4)      Pilorus lambung menyempit diujung bawah lambung dan membuka keduodenum.

Fungsi lambung :
1)        Penyimpanan makanan
2)        Produksi kimus. Aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus (massa homogen setengah cair, berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus) dan mendorongnya ke dalam duodenum.
3)        Digesti protein
4)        Produksi mukus
5)        Produksi faktor intrinsik
a)        Faktor intrinsik adalah glikoprotein yang disekresi sel parietal
b)        Vitamin B12, didapat dari makanan yang dicerna dilambung terikat pada faktor intrinsik
6)        Absorpsi
e.       Usus Halus
Usus halus panjangnya 22 ft dan diameternya 1 inci. Usus halus terdiri atas tiga bagian:
1)            Duodenum dimulai pada katup pyloric pada perut dan panjangnya sekitar 25 cm (10 inci) sampai bersatu pada yeyenum.
2)            Yeyenum, panjangnya 2,5 m (8 ft) dan terletak pada pertengahan bagian usus halus sampai ke ileum.
3)            Ileum panjangnya 3,6 m (12 ft) ini adalah bagian terakhir. Ileum menyatu dengan kolon pada katup ileocecal. Katup ini mengontrol aliran menuju usus besar dan mencegah refluk kembali ke usus halus.
Empat lapisan yang melindungi usus halus:
1)      Tunica serosa
2)      Tunica muscularis
3)      Tela submucosa
4)      Tunica mucosa
(Black Joyce, 1997 ; 1690)       
Adapun fungsi usus halus adalah sebagai berikut :
1)   Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
2)   Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
3)   Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida
4)   Usus halus secara selektif mengabsorpsi produk digesti.
Didalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan, yaitu :
1)    Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik
2)    Eripsin, menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.
(Syaifuddin, 1997 ; 79)
f.       Pankreas
Pankreas adalah kelenjar majemuk bertandan strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah, panjangnya + 15 cm, mulai dari duodenum sampai limfa. Terdiri atas tiga bagian; kepala pankreas, badan pankreas dan ekor pankreas. (Pearce, 1969 ; 207)
Fungsi pankreas adalah sebagai berikut :
1)        Fungsi eksokrin
2)        Fungsi endokrin
3)        Fungsi sekresi eksternal
4)        Fungsi sekresi internal
(Syafuddin, 1997 ; 84)
g.      Usus Besar
Panjang usus besar + 180 cm. Memiliki vili, tidak memiliki plicae circulares (lipatan-lipatan sirkular) dan diameternya lebih besar, panjangnya lebih pendek, dan daya regangnya lebih besar dibandingkan usus halus.
(Tambayong, 2001 ; 66)
Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar ; selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang dan jaringan ikat. (Syaifuddin, 1997 ; 80)
Bagian-bagian usus besar :
1)        Sekum Adalah kantong tertutup yang menggantung dibawah area katup ileosekal. Apendiks vermiform, suatu tabung buntu yang sempit berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.
2)        Kolon adalah bagian usus besar dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga divisi;
a)        Kolon asendens, merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hati disebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
b)        Kolon transversum, merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada fleksura splenik.
c)        Kolon desendens, merentang kebawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.
3)       Rektum    
Rektum adalah bagian saluran pencernaan dengan panjang 12-13 cm. rektum bermula pada pertengahan sakrum dan berakhir pada kanalis analis
Fungsi usus besar :
a)    Usus besar mengabsorbsi 80 % - 90 % air dan elektrolit.
b)   Usus besar hanya memproduksi mukus.
c)    Sejumlah bakteri dalam kolon mampu mencerna sejumlah kecil selulosa dan memproduksi sedikit kalori nutrien bagi tubuh dalam setiap hari.
d)   Usus besar mengekresikan zat sisa dalam bentuk feces.
(Sloane, 2003 ; 295)   



  1. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Samonella Thposa/Eberthela Thyposa yang merupakan kuman negatif, motil dan tidak menghasilkan spora, hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 700C dan antiseptik. Salmonella mempunyai tiga macam antigen, yaitu Antigen O= Ohne Hauch=somatik antigen (tidak menyebar) ada dalam dinding sel kuman, Antigen H=Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil dan Antigen V1=kapsul ; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis. Ketiga jenis antigen ini di manusia akan menimbulkan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
  1. Patofisiologi.
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman yang terkontaminasi, setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial sistem (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus. Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin. Endotoksin ini merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Makrofag pada pasien akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokines yang menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang imun sistem, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosist sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai tifoid sel. Bila sel ini beragregasi maka terbentuk nodul terutama dalam  usus halus, jaringan limfe mesemterium, limpa, hati, sumsum tulang dan organ yang terinfeksi.
Kelainan utama yang terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu I), nekrosis (minggu II) dan ulserasi (minggu III). Pada dinding ileum terjadi ulkus yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi intestinal. Bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut.














Makanan/minuman tercemar : S. thyposa
 
Secara singkat skema patogenesis sampai menimbulkan masalah keperawatan :



 














Infeksi : pasien kontak
 
 





















  1. Gejala klinis
Masa inkubasi 7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Rata-rata masa inkubasi 14 hari dengan gejala klinis sangat bervariasi dan tidak spesifik (Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1994).
Walaupun gejala bervariasi secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam : demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gnagguan kesadaran. Dalam minggu pertama : demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi dan suhu badan meningkat (39-410C). Setelah minggu kedua gejala makin jelas berupa demam remiten, lidah tifoid dengan tanda antara lain nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan nyeri tekan pada perut kanan bawah dan mungkin disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat seperti delirium.
Roseola (rose spot), pada kulit dada atau perut terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman salmonella.

  1. Pemeriksaan Diagnostik Dan Hasil
a.         Jumlah leukosit normal/leukopenia/leukositosis.
b.        Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT dan fsofat alkali meningkat.
c.         Minggu pertama biakan darah S. Typhi positif, dalam minggu berikutnya menurun.
d.        Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga.
e.         Kenaikan titer reaksi widal 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang memastikan diagnosis. Pada reaksi widal titer aglutinin O dan H meningkat sejak minggu kedua. Titer reaksi widal diatas 1 : 200 menyokong diagnosis.

  1. Penatalaksanaan
a.         Tirah baring atau bed rest.
b.         Diit lunak atau diit padat rendah selulosa (pantang sayur dan buahan), kecuali komplikasi pada intestinal.
c.         Obat-obat :
Antimikroba :
1)   Kloramfenikol 4 X 500 mg sehari/iv
2)   Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
3)   Kotrimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol 400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama iv, dilarutkan dalam 250 ml cairan infus.
4)   Ampisilin atau amoksisilin 100 mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi dalam 3 atau 4 dosis.
d.        Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas demam.
1)                            Antipiretik seperlunya
2)                            Vitamin B kompleks dan vitamin C
e.         Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam.
  1. Komplikasi.
a.         Komplikasi intestinal
1)        Perdarahan usus
2)        Perporasi usus
3)        Ilius paralitik
b.         Komplikasi extra intestinal
1)   Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
2)   Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
3)   Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4)   Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5)   Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6)   Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7)   Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.

  1. Prognosis
Bila penyakit berat, pengobatan terlambat / tidak adekuat atau ada komplikasi berat, prognosis meragukan/buruk Prognosis tergantung ada umur, keadaan umum, gizi, derajat kekebalan penderita, cepat dan tepatnya pengobatan serta komplikasi yang ada.

  1. Epidemiologi
·         Demam thypoid di jumpai di kosmopolitan terutama di negaa sedang berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi serta kesahatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat.
·         Insiden demam typhoid pada tahun 1985 di Indonesia sebagai berikut : 25,32% (umur 1 – 4 th), 35,59% (umur 5 – 9 th), dan 39, 09% (umur 10-14th).
·         Angka kejadian penyakit ini tidak berbeda antaraank laki – laki dan perempuan.
·         Umur penderita yang terkena di indonesia dilaorkan antara 3 –19 th mencapai 91%
·         Pengaruh cuaca terutama meningkat pada musim hujan, sedangkan darikepustakaan barat dilaporkan terutama pasa musim panas. 

  1. Pencegahan
1.         Sanitasi diperbaiki dan bersih
2.         Air mengalir dengan baik
3.         Personal hygiene ditinggatkan
4.         Cuci tangan
5.         Perhatikan praktek-praktek persiapan makanan yang akan disiapkan

B.     Konsep Keperawatan
1.      Pengkajian
a.         Riwayat : makan daging, telur yang tidak dimasak, atau minuman yang terkontaminasi.
b.         Gastrointestinal : awal mual dan muntah, nyeri abdomen dan diare, distensi abdomen, pembesaran limpa.
c.         Suhu tubuh : pada fase akut demam 39-400C, meningkat hingga 410C.
d.        Kulit : rose spot dimana hilang dengan tekanan, ditemukan pada dada, perut setelah minggu pertama.
e.         Neurologis : delirium hingga stupor, perubahan kepribadian, katatonia, aphasia.
f.          Pernapasan : batuk non produktif.
g.         Muskuloskeletal : nyeri sendi
h.         Kardiovaskuler : takikardi, hipotensi, dan shock jika perdarahan, infeksi senkunder atau septikemia.

2.      Diagnosa Keperawatan
a.                   Hipertemia b/d proses infeksi salmonella thyposa
b.                  Defisit volume cairan b/d pemasukan yang kurang, mual, muntah/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh
c.                   Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.
d.                  Gangguan pola defeksi : diare b/d proses peradangan pada dinding usus halus


3.      Perencanaan Keperawatan

No
Diagnosa keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
1
Hipertemia b/d proses infeksi salmonella thyposa

-         
NOC : Thermoregulation
Kriteria Hasil :
v  Suhu tubuh dalam rentang normal
v  Nadi dan RR dalam rentang normal
v  Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman
NIC :
Fever treatment
§  Monitor suhu sesering mungkin
§  Monitor IWL
§  Monitor warna dan suhu kulit
§  Monitor tekanan darah, nadi dan RR
§  Monitor penurunan tingkat kesadaran
§  Monitor WBC, Hb, dan Hct
§  Monitor intake dan output
§  Kolaborasi pemberian anti piretik
§  Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
§  Selimuti pasien
§  Lakukan tapid sponge
§  Kolaboraikan dengan dokter mengenai pemberian cairan intravena sesuai program
§  Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
§  Tingkatkan sirkulasi udara
§  Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil

Temperature regulation
§  Monitor suhu minimal tiap 2 jam
§  Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu
§  Monitor TD, nadi, dan RR
§  Monitor warna dan suhu kulit
§  Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
§  Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
§  Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
§  Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
§  Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan
§  Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang diperlukan
§  Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan
§  Berikan anti piretik jika perlu

Vital sign Monitoring
§  Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
§  Catat adanya fluktuasi tekanan darah
§  Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
§  Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
§  Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
§  Monitor kualitas dari nadi
§  Monitor frekuensi dan irama pernapasan
§  Monitor suara paru
§  Monitor pola pernapasan abnormal
§  Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
§  Monitor sianosis perifer
§  Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
§  Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
2
Defisit volume cairan b/d pemasukan yang kurang, mual, muntah/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh


-   
NOC:
v  Fluid balance
v  Hydration
v  Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
v  Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal
v  Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
v  Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Fluid management
·         Timbang popok/pembalut jika diperlukan
·         Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
·         Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan
·         Monitor vital sign
·         Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
·         Lakukan terapi IV
·         Monitor status nutrisi
·         Berikan cairan
·         Berikan cairan IV pada suhu ruangan
·         Dorong masukan oral
·         Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
·         Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
·         Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )
·         Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
·         Atur kemungkinan tranfusi
·         Persiapan untuk tranfusi
3
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.

-   
NOC :
v  Nutritional Status : food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
v  Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
v  Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
v  Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
v  Tidak ada tanda tanda malnutrisi
v  Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Nutrition Management
§  Kaji adanya alergi makanan
§  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
§  Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
§  Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
§  Berikan substansi gula
§  Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
§  Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
§  Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
§  Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
§  Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
§  Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan


Nutrition Monitoring
§  BB pasien dalam batas normal
§  Monitor adanya penurunan berat badan
§  Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
§  Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
§  Monitor lingkungan selama makan
§  Jadwalkan pengobatan  dan tindakan tidak selama jam makan
§  Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
§  Monitor turgor kulit
§  Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
§  Monitor mual dan muntah
§  Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
§  Monitor makanan kesukaan
§  Monitor pertumbuhan dan perkembangan
§  Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
§  Monitor kalori dan intake nuntrisi
§  Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.
§  Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet
4
Gangguan pola defeksi : diare b/d proses peradangan pada dinding usus halus
NOC:
v  Bowel elimination
v  Fluid Balance
v  Hydration
v  Electrolyte and Acid base Balance
Kriteria Hasil :
v  Feses berbentuk, BAB sehari sekali- tiga hari
v  Menjaga daerah sekitar rectal dari iritasi
v  Tidak mengalami diare
v  Menjelaskan penyebab diare dan rasional tendakan
v  Mempertahankan turgor kulit
NIC :
Diarhea Management
v  Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal
v  Ajarkan pasien untuk menggunakan obat antidiare
v  Instruksikan pasien/keluarga untukmencatat warna, jumlah, frekuenai dan konsistensi dari feses
v  Evaluasi intake makanan yang masuk
v  Identifikasi factor penyebab dari diare
v  Monitor tanda dan gejala diare
v  Observasi turgor kulit secara rutin
v  Ukur diare/keluaran BAB
v  Hubungi dokter jika ada kenanikan bising usus
v  Instruksikan pasien untukmakan rendah serat, tinggi protein dan tinggi kalori jika memungkinkan
v  Instruksikan untuk menghindari laksative
v  Ajarkan tehnik menurunkan stress
v  Monitor persiapan makanan yang aman










4.           Evaluasi
Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan untuk klien dengan gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital stabil, kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi hipertermia, klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri.















5.           Pendidikan Kesehatan 

SATUAN ACARA PENYULUHAN
(SAP)

Tema                                      : Sistem Pencernaan
Sub Tema                               : Penyakit thypoid
Sasaran                                  : Orangtua An. D
Tempat                                   : Rumah Sakit  Bethesda
Hari/Tanggal                         : Kamis, 28 Februari 2013
Waktu                                                : 30 Menit

A.  Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit orangtua An. D diharapkan dapat menjelaskan penyakit thypoid

B.  Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit, diharapkan Klien dapat:
1.      Menjelaskan pengertian penyakit thypoid dengan benar
2.      Menyebutkan faktor penyebab yang dapat menimbulkan penyakit thypoid
3.      Menyebutkan tanda/gejala dari penyakit thypoid
4.      Menjelaskan penatalaksanaan penyakit thypoid
5.      Menjelaskan patofisiologi penyakit thypoid
C.  Materi
1.      Pengertian penyakit thypoid
2.      Faktor penyebab dari penyakit thypoid
3.      Tanda/gejala penyakit thypoid
4.      Penatalaksanaan penyakit thypoid
5.      Patofisiologi penyakit thypoid
D.  Metode
1.      Ceramah
2.      Tanya jawab



E.  Kegiatan Penyuluhan
No
Kegiatan
Penyuluh
Peserta
Waktu
1.
Pembukaan
·         Salam pembuka
·         Menyampaikan tujuan penyuluhan
·         Menjawab salam
·         Menyimak,
Mendengarkan, menjawab pertanyaan
5 Menit
2.
Kerja/ isi
·       Penjelasan pengertian, penyebab, gejala, penatalaksanaan dan patofisiologi penyakit thypoid
·       Memberi kesempatan peserta untuk bertanya
·       Menjawab pertanyaan

·       Evaluasi
·         Mendengarkan dengan penuh perhatian

·         Menanyakan hal-hal yang belum jelas
·         Memperhatikan jawaban dari penceramah
·         Menjawab pertanyaan
 15 menit
3.
Penutup
·         Menyimpulkan
·         Salam penutup
·      Mendengarkan
·      Menjawab salam
10 Menit


F.   Media
Leaflet: Tentang penyakit Hirschsprung
G. Evaluasi
Formatif:
1.      Klien dapat menjelaskan pengertian penyakit thypoid
2.      Klien mampu menjelaskan faktor penyebab dari penyakit thypoid
3.      Klien dapat menjelaskan tanda/gejala penyakit thypoid
4.      Klien  mampu menjelaskan penatalaksanaan penyakit thypoid
Sumatif:                                                                                                       
Klien dapat memahami penyakit penyakit thypoid


Yogyakarta, 3 Maret 2013

Pembimbing                                                                                  Penyuluh



(-------------------------------)                                                 (---------------------------------)


6.           Aspek legal etik
  Advokat
Membela hak klien dengan: Memberikan perawatan sebaik mungkin kepada pasien. Jika dalam melakukan suatu tindakan, pasien tidak didampingi oleh keluarga nya atau kerabat dekat nya maka sebagai perawat kita dapat meminta persetujuan dari pasien itu sendiri bila masih dalam keadaan sadar, sehingga bukti hukum menjadi kuat dan semua tindakan dilakukan secara legal.
Kode Etik
a.         Kita harus memberikan informasi yang sebenarnya mengenai keadaan atau kondisi pasien..
b.        Memberikan tindakan keperawatan sesuai prosedur perawatan dan penuh tanggungjawab.
c.         Memberikan tindakan tanpa membedakan antara pasien yang satu dengan yang lainnya.
d.      Menjaga privasi pasien mengenai penyakitnya.

7.      Journal

Judul : Karena demam tifoid ileum perforasi - Ulasan manajemen operasi dan hasil di pusat kota di Nigeria.

Ugochukwu AI, Amu OC, Nzegwu MA.

Sumber
Departemen Bedah, Enugu State University, Teaching Hospital, Enugu, Nigeria.
Abstrak
LATAR BELAKANG:
Manajemen perforasi ileum tifoid adalah tugas yang menantang di lingkungan kita. Kurangnya basis kejadian data dan sumber daya keuangan yang buruk menghalangi pencegahan yang memadai dari ancaman kesehatan masyarakat.
TUJUAN:
Untuk saat ini fokus akan tetap manajemen yang efektif dan strategis dari komplikasi ini untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.


METODE:
86 kasus perforasi ileum tipus terlihat selama periode dua tahun. Sebagian besar anak laki-laki dan laki-laki dewasa muda. Pengumpulan data adalah dengan mengambil informasi dari catatan medis dari Enugu State University Sains dan Teknologi Pengajaran Rumah Sakit (ESUTH). Semua diresustasi dengan cairan 1V, antibiotik iv, hisap tabung nasogastrik dan di mana transfusi darah ditunjukkan. Mayoritas memiliki bakteriologi, biokimia, penyelidikan hematologis dan radiologi. Laparotomi dilakukan setelah resusitasi yang memadai.


HASIL:
Sebagian besar sudah demam selama 2-6weeks sebelum masuk, dengan mayoritas yang telah diberi label kasus malaria resisten. Kebanyakan disajikan lebih dari 24 jam setelah onset peritonitis dan karena itu dieksplorasi akhir, beberapa sebagai larut 96 h. Pada laparotomi 97% memiliki volume yang besar dari nanah dan isi usus kecil dalam rongga peritoneal dan 3% telah dilokalisasi abses intraabdominal. Tidak ada upaya penyembuhan atau lokalisasi omentum perforasi diamati. Lima puluh dua pasien (60,5%) mengalami penutupan yang sederhana, 18 (21%) memiliki reseksi ileum dan enteroanastomosis, 7 (8,1%) memiliki tabung ileostomy, 5 (5,8%) memiliki jahitan primer dan proksimal ileo-melintang anastomosis dan 4 (4,7% ) hemicolectomy hak terbatas. Semua memiliki peritoneal lavage liberal dengan normal saline. Kelompok yang disajikan relatif awal, dengan perubahan patologis yang minimal, memiliki jahitan primer dan mortalitas pada kelompok ini adalah 11,5%. Kelompok dengan perubahan patologis kotor terlihat terutama pada pasien yang disajikan akhir memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi, bahkan setinggi 50%. Namun angka kematian kami secara keseluruhan adalah 18,6%.

KESIMPULAN:
Para penulis menegaskan bahwa perforasi ileum tifus harus diperlakukan pembedahan. Awal presentasi dan diagnosis, resusitasi yang memadai, operasi cepat dan kuat pasca-operasi manajemen tingkat kematian lebih baik. Jelas keterlambatan dalam presentasi yang memerlukan resusitasi berkepanjangan dan karena itu tertunda kematian bedah terkena.

Daftar Pustaka

Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year Book, Toronto.
Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC, Jakarta.
Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Soegianto, Soegeng. 2002. Ilmu Penyakit Anak. Jakarta : Salemba Medika
Ngastyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Rampengan. 2008. Penyakit Infeksi Tropic Pada Anak. Jakarta : EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar