KEP:
Vinsensius bate
A.
Pengertian
Kekurangan energi protein
adalah keadan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Pudjiani,
2000).
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan masalah gizi kurang
akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena
gangguan kesehatan (Depkes RI, 1999).
Istilah Kurang Energi Protein (KEP) digunakan untuk
menggambarkan kondisi klinik berspektrum luas yang berkisar antara sedang sampai
berat. KEP yang berat memperlihatkan gambaran yang pasti dan benar (tidak
mungkin salah) artinya pasien hanya berbentuk kulit pembungkus tulang, dan bila
berjalan bagaikan tengkorak (Daldiyono dan Thaha, 1998).
KEP adalah gizi buruk yang merupakan suatu istilah teknis yang umumnya
dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk itu sendiri
adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun
atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda
klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan kombinasi marasmus kwashiorkor
(Soekirman, 2000).
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi
yang disebabkan oleh rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari
– hari atau gangguan penyakit – penyakit tertentu. Anak tersebut kurang energi
protein (KEP) apabila berat badanya kurang dari 80 % indek berat badan / umur
baku standar,WHO – NCHS, (DEPKES RI,1997)
Kurang Energi Protein (KEP) diberi nama internasional Calori
Protein Malnutrition (CPM) dan kemudian diganti dengan Protein
Energy Malnutrition (PEM). KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
olehrendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga
tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Manifestasi KEP dari
diri penderitanya ditentukan dengan mengukur status gizi anak atau orang
yangmenderita KEP.
Malnutrisis energi protein merupakan tidak cukupnya asupan
protein dan kalori yang dibutuhkan oleh tuguh atau dikenal dengan nama marasmus
dan kwasiokor. (Aziz Alimul, 2008)
B.
Etiologi
Menurut Ngastiyah, 1997 faktor-faktor
penyebab kurang energi protein dibagi menjadi dua, yaitu :
1.
Primer
a.
Susunan makanan yang salah
b.
Penyedia makanan yang kurang baik
c.
Kemiskinan
d.
Ketidaktahuan tentang nutrisi
e.
Kebiasan makan yang salah
2.
Sekunder
a.
Gangguan pencernaan (seperti malabsorbsi, gizi tidak
baik, kelainan struktur saluran)
b.
Gangguan psikologis.
C.
Klasifikasi KEP dan Manifestasi Klinis
Kekurangan Energi Protein (KEP) dibagi menjadi tiga, yaitu :
1.
KEP Ringan
Bila
hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita warna kuning di atas
garis merah, atau BB / U 70% – 80% baku median
WHO-NCHS.
2.
KEP Sedang
Bila
hasil penimbangan berat badan pada KMS dibawah garis merah atau BB / U 60% –
70% baku median WHO-NCHS.
3.
KEP Berat
Secara
garis besar dapat dibedakan menjadi :
a.
Kwashiokor : kekurangan protein
Tanda-tanda
:
-
Edema umumnya diseluruh tubuh terutama pada kaki
-
Wajah membulat dan sembab
-
Perubahan status mental :
cengeng, rewel kadang apatis
-
Anak sering menolak jenis makanan
-
Rambut berwarna kemerahan, kusam dan mudah dicabut
-
Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada
posisi berdiri dan duduk, anak lebih sering berbaring
-
Sering disertai infeksi, anemia
serta diare
-
Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan
berubah menjadi hitam terkelupas
-
Pandangan mata anak tampak sayu
b.
Marasmus: kekurangan energi dan protein
Tanda-tanda
:
-
Anak tampak kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
-
Cengeng, rewel dan perut cekung
-
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit
sampai tidak ada
-
Wajah seperti orang tua
-
Sering disertai diare kronik / konstipasi serta
penyakit kronik lainnya
-
Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan kurang
c.
Marasmus – Kwashiokor
Tanda-tandanya
merupakan gabungan dari ke dua jenis KEP di atas (Moehji, 1992)
D.
Patofisiologi



E.
Penatalaksanaan KEP (Pudjiani, 2000)
KEP disebabkan oleh multifaktor yang saling
terkait sinergis secara klinis maupun lingkungannya. Pencegahan hendaknya
meliputi faktor secara konsisten. Tindakan yang diperlukan untuk mengatasi KEP
:
1.
Mengendalikan penyakit-penyakit infeksi, khususnya
diare, melalui :
a.
Perbaikan : sanitasi, personal, lingkungan, terutama
makanan dan peralatan
b.
Pendidikan : dasar, kesehatan, gizi
c.
Program imunisasi
Pencegahan
penyakit erat kaitannya dengan lingkungan seperti TBC, Malaria, DHF, parasit
(cacing).
2.
Memperkecil dampak penyakit infeksi terutama diare
diwilayah yang sanitasi lingkungannya belum baik.
3.
Deteksi dini dan menejemen awal / ringan
a.
Memonitor tumbang dan status gizi balita secara kontinu
b.
Perhatikan khusus faktor resiko tinggi yang akan
berpengaruh terhadap kelangsungan status gizi (kemiskinan, ketidaktahuan
penyakit infeksi)
4.
Memelihara status gizi
a.
Dimulai sejak dalam kandungan, ibu hamil dengan gizi
yang baik, diharapkan melahirkan bayi dengan status gizi yang baik pula.
b.
Setelah lahir segera diberi ASI ekslusif sampai 4 bulan
c.
Pemberian makanan tambahan (pendamping) ASI mulai usia
4 bulan secara bertahap
d.
Memperpanjang masa menyusui selama mungkin selama bayi
menghendaki (maksimal 2 tahun).
F.
Epidemiologi
Kasus ini dijumpai pada daerah miskin,
persediaan makanan yang terbatas, dan tingkat pendidikan yang rendah. Penyakit
ini menjadi masalah di negara- negara miskin dan berkembang di Afrika, Amerika
Tengah, Amerika Selatan, dan Asia Selatan.
Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada
tahun 2005 diperkirakan sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang (berat badan
menurut umur) 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Dari anak yang
menderita gizi buruk tersebut ada 150.000 menderita gizi buruk tingkat berat
yang disebut marasmus, kwashiorkor, dan marasmus- kwashiorkor, yang memerlukan
perawatan kesehatan yang intensif di Puskesmas dan Rumah Sakit.
Pada saat ini masih terdapat 110 Kabupaten/
Kota dari 440 Kabupaten/ Kota di Indonesia yang mempunyai prevalensi di atas
30% (berat badan menurut umur). Menurut WHO keadaan ini masih tergolong sangat
tinggi.
Berdasarkan hasil surveilans Dinas Kesehatan
Propinsi dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2005, total kasus gizi buruk sebanyak75.671 balita.
Jumlah kasus gizi buruk yang meninggal dunia
dilaporkan dari bulan Januari 2005 sampai Desember 2005 adalah 286 balita.
Kasus gizi buruk yang meninggal tersebut pada umumnya disertai dengan penyakit
infeksi seperti ISPA, diare, TB, campak dan malaria. Jumlah kasus gizi buruk
yang meninggal tertinggi terjadi pada bulan Juni sebanyak 107 kasus,
selanjutnya pada bulan- bulan berikutnya kasus gizi buruk yang meninggal
cenderung menurun, bahkan pada bulan November tidak ada laporan kasus gizi
buruk yang meninggal dunia. Namun demikian pada bulan Desember 2005 terjadi
peningkatan kasus gizi buruk yang meninggal dunia sebanyak 54 kasus yang
merupakan laporan dari 7 propinsi yaitu dari Jatim 14 kasus, Sulsel 13 kasus,
Gorontalo 13 kasus, NTT 6 kasus, Lampung 4 kasus, Sulteng 2 kasus, serta Maluku
dan Malut masing-masing 1 kasus.
Indonesia sebenarnya sudah banyak membuat
kemajuan dalam menekan angka gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita,
sebanyak 37,5% (1989), 35,5% (1992), 31,6% (1995), 29,5% (1998), 26,4% (1999),
dan 24,6% (2000). Sejak tahun 2000, angka gizi buruk dan gizi kurang kembali
meningkat, menjadi 26,1% (2001), 27,3% (2002), 27,5% (2003), dan 29% (2005).
G.
Faktor resiko
1.
Bayi dan anak
kecil yang nafsu makannya jelek
2.
Remaja dalam
masa pertumbuhan yang pesat
3.
Wanita hamil
dan wanita menyusui
4.
Orang tua
5.
Penderita
penyakit menahun pada saluran pencernaan, hati atau ginjal, terutama jika
terjadi penurunan berat badan sampai 10-15%
6.
Orang yang
menjalani diet untuk jangka panjang
7.
Vegetarian
8.
Penderita
ketergantungan obat atau alkohol yang tidak cukup makan
9.
Penderita AIDS
10.
Pemakaian obat
yang mempengaruhi nafsu makan, penyerapan atau pengeluaran zat gizi
11.
Penderita
anoreksia nervosa
12.
Penderita demam
lama, hipertiroid, luka bakar atau kanker
DAFTAR PUSTAKA
Pudjiani,
2000, Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, Penerit FKUI, Jakarta.
Departemen
Kesehatan RI, 1999, Pedoman Tatalaksana KEP pada Anak di Puskesmas dan di Rumah
Tangga, Bhakti Husada, Jakarta.
Ngastiyah,
1997, Perawatan Anak Sakit, Editor Setiawan, EGC, Jakarta.
Mochji,
1992, Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita, Penerbit Bharata, Jakarta.
Hidayat,
A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan,
Salemba Medika, Jakarta
OBESITAS
A. Pengertian
Obesitas merupakan gangguan nutrisi
yang paling umum. Obesitas berhubungan dengan deposit lemak yang berlebihan di
sekitar tubuh, terutama di jaringan sub kutan. Obesitas terjadi bila asupan
diit melebihi nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Obesitas biasanya didiagnosis
melalui Indeks Masa Tubuh (IMT).
B. Klasifikasi
Klasifikasi obesitas menurut IMT
berdasaran WHO :
-
berat badan kurang IMT < 18,5
-
normal
IMT 18,5 – 24,9
-
berlebihan IMT > 25
-
pra obesitas IMT 25 – 29,9
-
kelas 1 obesitas IMT 30 – 34,9
-
kelas 2 obesitas IMT 35 – 39,9
-
kelas 3 obesitas IMT > 40
C.
Jenis obesitas:
1.
Tipe Android (tipe buah apel)
Kegemukan tipe ini ditandai
dengan penumpukan lemak yang berlebihan dibagian tubuh sebelah atas yaitu
disekitar dada, bahu, leher dan muka. Pada muka ini lebih mudah menurunkan
berat badan dibanding tipe Genoid (tipe buah pear) asal bersamaan dengan diet
dan olah raga yang tepat.
2.
Tipe Genoid (tipe buah pear)
Pada tipe ini lemak tertimbun
dibagian tubuh sebelah bawah yaitu disekitar perut, pinggul, paha, pantat, dan
umumnya banyak ditemui pada wanita yang lebih sukar untuk menurunkan berat
badan.
D. Penyebab
1.
diit tinggi lemak dan gula
2.
kurang aktivitas
3.
gangguan endokrin
4.
keturunan genetik
5.
faktor psikososial Christ
(Editor)
E.
Patofisiologi
Secara umum obesitas dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan kalori, yang
diakibatkan asupan energy yang jauh melebihi kebutuhan tubuh.Pada bayi (infant), penumpukan lemak terjadi akibat
pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini, terutama apabila makanan
tersebut memiliki kandungan karbohidrat, lemak, dan protein yang tinggi.Pada
masa anak-anak dan dewasa, asupan energy bergantung pada diet seseorang.
Obesitas terjadi
karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak.
Gangguan keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas
primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder)
akibat adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%).
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses
fisiologis, yaitu: pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju
pengeluaran energi, dan regulasi sekresi hormon.
Proses dalam
pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang
berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer
(jaringan adipose, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut
bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi)
dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi)
dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang.
Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan
dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan
oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar.
Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang
mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi.
Apabila asupan
energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai
dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic centerdi hipotalamus agar menurunkan
produksi Neuro Peptide –Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan.
Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi,
maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center
di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar
penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin
tidak menyebabkan penurunan nafsu makan.
F.
Komplikasi
1.
Hipertensi.
Penambahan
jaringan lemak meningkatkan aliran darah. Peningkatan kadar insulin berkaitan
dengan retensi garam dan air yang meningkatkan volum darah. Laju jantung
meningkat dan kapasitas pembuluh darah mengangkut darah berkurang. Semuanya
dapat menungkatkan tekanan darah.
2.
Diabetes.
Obesitas
merupakan penyebab utama DM t2. Lemak berlebih menyebabkan resistensi insulin,
dan hiperglikemia berpengaruh negatif terhadap kesehatan.
Dislipidemia.
Terdapat
peningkatan kadar low-density lipoprotein cholesterol (jahat), penurunan kadar
high-density lipoprotein cholesterol (baik) dan peningkatan kadar trigliserida.
Dispilidemia berisiko terbentunya aterosklerosis.
3.
Penyakit
jantung koroner dan Stroke
Penyakit-penyakit
ini merupakan penyakit kardiovaskular akibat aterosklerosis.
4.
Osteoartritis.
Morbid
obesity memperberat beban pada sendi-sendi.
5.
Apnea
tidur.
Obesitas
menyebabkan saluran napas yang menyempit yang selanjutnya menyebabkan henti
napas sesaat sewaktu tidur dan mendengkur berat
6.
Asthma
Anak
dengan BBL atau obes cenderung lebih banyak mengalami serangan asma atau
pembatasan keaktifan fisik.
7.
Kanker
Banyak
jenis kanker yang berkaitan dengan BBL misalnya pada perempuan kanker payudara,
uterus, serviks, ovarium dan kandung empedu; pada lelaki kanker kolon, rektum
dan prostat.
8.
Penyakit
perlemakan hati
Baik
peminum alkohol maupun bukan dapat mengidap penyakit perlemakan hati (non
alcoholic fatty liver disease = NAFLD) atau non alcoholic steatohepatitis
(NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis.
9.
Penyakit
kandung empadu
Orang
dengan BBL dapat menghasilkan banyak kolesterol yang berisiko batu kandung
empedu.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ensiklopedia Keperawatan, editor Christ Brooker, Jakarta, EGC, 2008
2.
Doenges, Marilyn. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC
MARASMUS
A. PENGERTIAN
¨ Marasmus adalah bentuk malnutrisi
kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis
terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah
kulit dan otot. (Dorland, 1998:649).
¨ Marasmus adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh kekurangan kalori protein. (Suriadi, 2001:196).
¨ Marasmus adalah malnutrisi berat pada
bayi sering ada di daerah dengan makanan tidak cukup atau higiene kurang.
Sinonim marasmus diterapkan pada pola penyakit klinis yang menekankan satu ayau
lebih tanda defisiensi protein dan kalori. (Nelson, 1999:212).
¨ Zat gizi adalah zat yang diperoleh
dari makanan dan digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan, pertahanan dan atau
perbaikan. Zat gizi dikelompokkan menjadi karbohidrat, lemak, protein, vitamin,
mineral dan air. (Arisman, 2004:157).
¨ Energi yang diperoleh oleh tubuh
bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan dalam
tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita
konsumsi.
¨ Fungsi utama karbohidrat adalah
sebagai sumber energi, disamping membantu pengaturan metabolisme protein.
Protein dalam darah mempunyai peranan fisiologis yang penting bagi tubuh untuk
:
1.
Mengatur
tekanan air, dengan adanya tekanan osmose dari plasma protein.
2.
Sebagai
cadangan protein tubuh.
3.
Mengontrol
perdarahan (terutama dari fibrinogen).
4.
Sebagai
transport yang penting untuk zat-zat gizi tertentu.
5.
Sebagai
antibodi dari berbagai penyakit terutama dari gamma globulin.
Dalam darah ada 3 fraksi
protein, yaitu : Albumin, globulin, fibrinogen.
B. ETIOLOGI
¨ Penyebab utama marasmus adalah kurang
kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan
makan yang tidak tepat seperti yang hubungan dengan orangtua-anak
terganggu,karena kelainan metabolik, atau malformasi kongenital. (Nelson,1999).
¨ Marasmus dapat terjadi pada segala
umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI
dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus juga
dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain seperti infeksi, kelainan bawaan
saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit
ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat. (Dr. Solihin, 1990:116).
C. PATOFISIOLOGI
Kurang
kalori protein akan terjadi manakala
kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet.
(Arisman, 2004:92). Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha
untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi.
Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa)
dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya
kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25
jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya katabolisme protein terjadi
setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi
karbohidrat di hepar dan ginjal. Selam puasa jaringan lemak dipecah menjadi
asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam lemak dan
keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan ini berjalan
menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi
seteah kira-kira kehilangan separuh dari tubuh. (Nuuhchsan Lubis an Arlina
Mursada, 2002:11).
D. MANIFESTASI KLINIK
Pada mulanya ada kegagalan menaikkan
berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan sampai berakibat
kurus,dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi berkerut dan longgar
karena lemak subkutan hilang dari bantalan pipi, muka bayi dapat tetap tampak
relatif normal selama beberaba waktu sebelum menjadi menyusut dan berkeriput.
Abdomen dapat kembung dan datar.Terjadi atropi otot dengan akibat hipotoni.Suhu
biasanya normal, nadi mungkin melambat, mula-mula bayi mungkin rewe, tetapi
kemudian lesu dan nafsu makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat
muncul apa yang disebut diare tipe kelaparan, dengan buang air besar sering,
tinja berisi mukus dan sedikit. (Nelson,1999).
Selain
itu manifestasi marasmus adalah sebagai berikut :
1.
Badan kurus kering tampak seperti orangtua
2.
Lethargi
3.
Irritable
4.
Kulit keriput (turgor kulit jelek)
5.
Ubun-ubun cekung pada bayi
6.
Jaingan subkutan hilang
7.
Malaise
8.
Kelaparan
9.
Apatis
E.
PENATALAKSANAAN
1.
Keadaan ini memerlukan diet yang berisi jumlah cukup protein
yang kualitas biologiknya baik. Diit tinggi kalori, protein, mineral dan
vitamin.
2.
Pemberian terapi cairan dan elektrolit.
3.
Penatalaksanaan segera setiap masalah akut seperti masalah
diare berat.
4.
Pengkajian riwayat status sosial ekonomi, kaji riwayat pola makan, pengkajian antropometri,
kaji manifestasi klinis, monitor hasil laboratorium, timbang berat badan, kaji
tanda-tanda vital.
Penanganan KKP berat
Secara garis besar, penanganan KKP berat dikelompokkan
menjadi pengobatan awal dan rehabilitasi.Pengobatan awal ditujukan untuk
mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, sementara fase rehabilitasi diarahkan
untuk memulihkan keadaan gizi.
Upaya pengobatan, meliputi :
-
Pengobatan/pencegahan terhadap hipoglikemi, hipotermi,
dehidrasi.
-
Pencegahan jika ada ancamanperkembangan renjatan septik
-
Pengobatan infeksi
-
Pemberian makanan
-
Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain, seperti
kekurangan vitamin, anemia berat dan payah jantung.
Menurut Arisman, 2004:105
-
Komposisi ppemberian CRO (Cairan Rehidrasi Oral) sebanyak
70-100 cc/kg BB biasanya cukup untuk mengoreksi dehidrasi.
-
Cara pemberian dimulai sebanyak 5 cc/kg BB setiap 30 menit
selama 2 jam pertama peroral atau NGT kemudian tingkatkan menjadi 5-10 cc/kg
BB/ jam.
-
Cairan sebanyak itu harus habis dalam 12 jam.
-
Pemberian ASI sebaiknya tidak dihentikan ketika pemberian
CRO/intravena diberikan dalam kegiatan rehidrasi.
-
Berika makanan cair yang mengandung 75-100 kkal/cc,
masing-masing disebut sebagai F-75 dan F-100.
Menurut Nuchsan Lubis
Penatalaksanaan penderita marasmus yang dirawat di RS
dibagi dalam beberapa tahap, yaitu :
1.
Tahap awal :24-48 jam pertama merupakan masa kritis, yaitu
tindakan untuk menyelamatkan jiwa, antara lain mengoreksi keadaan dehidrasi
atau asidosis dengan pemberian cairan IV.
-
cairan yang diberikan adalah larutan Darrow-Glukosa atau
Ringer Laktat Dextrose 5%.
-
Mula-mula diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama.
-
Kemudian 140ml sisanya diberikan dalam 16-20 jam berikutnya.
-
Cairan diberikan 200ml/kg BB/ hari.
2.
Tahap penyesuaian terhadap pemberian makanan
-
Pada hari-hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak
30-60 kalori/ kg BB/ hari atau rata-rata 50 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein
1-1,5 gr/ kg BB/ hari.
-
Kemudian dinaikkan bertahap 1-2 hari hingga mencapai 150-175
kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 3-5 gr/ kg BB/ hari.
-
Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet TKTP ini lebih
kurang 7-10 hari.
F.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.
Pemeriksaan Fisik
a.
Mengukur TB dan BB
b.
Menghitung indeks massa tubuh, yaitu BB (dalam kilogram)
dibagi dengan TB (dalam meter)
c.
Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah
belakang (lipatan trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak
dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya dangan menggunakan jangka lengkung
(kaliper). Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan
lemak normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita.
d.
Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur LLA untuk
memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body massa, massa tubuh yang
tidak berlemak).
2.
Pemeriksaan laboratorium : albumin, kreatinin, nitrogen,
elektrolit, Hb, Ht, transferin.
G.
FOKUS INTERVENSI
1.
Gangguan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan tidak adekuat (nafsu
makan berkurang). (Wong, 2004)
Tujuan :
Pasien mendapat nutrisi yang adekuat
Kriteria hasil :
meningkatkan masukan oral.
Intervensi :
a.
Dapatkan riwayat diet
b.
Dorong orangtua atau anggota keluarga lain untuk menyuapi
anak atau ada disaat makan
c.
Minta anak makan dimeja dalam kelompok dan buat waktu makan
menjadi menyenangkan
d.
Gunakan alat makan yang dikenalnya
e.
Perawat harus ada saat makan untuk memberikan bantuan,
mencegah gangguan dan memuji anak untuk makan mereka
f.
Sajikan makansedikit tapi sering
g.
Sajikan porsi kecil makanan dan berikan setiap porsi secara
terpisah
2.
Defisit volume cairan
berhubungan dengan diare. (Carpenito, 2001:140)
Tujuan :
Tidak terjadi dehidrasi
Kriteria hasil :
Mukosa bibir lembab, tidak
terjadi peningkatan suhu, turgor kulit baik.
Intervensi :
a.
Monitor tanda-tanda vital dan tanda-tanda dehidrasi
b.
Monitor jumlah dan tipe masukan cairan
c.
Ukur haluaran urine dengan akurat
3.
Gangguan integritas kulit
berhubungan dengan gangguan nutrisi/status metabolik. (Doengoes, 2000).
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan integritas
kulit
Kriteria hasil :
kulit tidak kering, tidak bersisik,
elastisitas normal
Intervesi :
a. Monitor kemerahan,
pucat,ekskoriasi
b. Dorong mandi 2xsehari dan
gunakan lotion setelah mandi
c. Massage kulit Kriteria
hasilususnya diatas penonjolan tulang
d. Alih baring
4.
Resiko tinggi infeksi
berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh
Tujuan :
Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
Kriteria hasil:
suhu tubuh normal 36,6 C-37,7 C,lekosit dalam batas normal
Intervensi :
a.
Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
b.
Pastikan semua alat yang kontak dengan pasien bersih/steril
c.
Instruksikan pekerja perawatan kesehatan dan keluarga dalam
prosedur kontrol infeksi
d.
Beri antibiotik sesuai program
5.
Kurang pengetahuan
berhubungan dengan kurang nya informasi (Doengoes, 2004)
Tujuan :
pengetahuan pasien dan keluarga bertambah
Kriteria hasil:
Menyatakan kesadaran dan perubahan pola
hidup,mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala.
Intervensi :
a. Tentukan tingkat
pengetahuan orangtua pasien
b. Mengkaji kebutuhan diet
dan jawab pertanyaan sesuai indikasi
c. Dorong konsumsi makanan
tinggi serat dan masukan cairan adekuat
d. Berikan informasi tertulis
untuk orangtua pasien
6.
Perubahan pertumbuhan dan
perkembangan berhubungan dengan melemahnyakemampuan fisik dan ketergantungan
sekunder akibat masukan kalori atau nutrisi yang tidak adekuat. (Carpenito, 2001:157).
Tujuan :
Anak mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya.
Kriteria hasil :
Terjadi peningkatan dalam perilaku personal, sosial, bahasa,
kognitif atau aktifitas motorik sesuai dengan usianya.
Intervensi :
a.
Ajarkan pada orangtua tentang tugas perkembangan yang sesuai
dengan kelompok usia.
b.
Kaji tingkat perkembangan anak dengan Denver II
c.
Berikan kesempatan bagi anak yang sakit memenuhi tugas
perkembangan
d.
Berikan mainan sesuai usia anak.
7.
Intoleransi aktifitas
berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen sekunder akibat
malnutrisi. (Carpenito, 2001:3)
Tujuan :
Anak mampu beraktifitas sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil :
Menunjukkan kembali kemampuan melakukan aktifitas.
Intervensi :
a.
Berikan permainan dan aktifitas sesuai dengan usia
b.
Bantu semua kebutuhan anak dengan melibatkan keluarga pasien
8.
Kelebihan volume cairan
berhubungan dengan rendahnya masukan protein (malnutrisi). (Carpenio, 2001:143).
Tujuan :
Kelebihan volume cairan tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Menyebutkan faktor-faktor penyebab
dan metode-metode pencegahan edema, memperlihatkan penurunan edema perifer dan
sacral.
Intervensi :
a.
Pantau kulit terhadap tanda luka tekan
b.
Ubah posisi sedikitnya 2 jam
c.
Kaji masukan diet dan kebiasaan yang dapat menunjang retensi
cairan.
H.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Arisman, 2004, Gizi
dalam daur kehidupan, Jakarta : EGC
2.
Betz, L & Linda S, 2002, Buku saku peditrik, Alih bahasa monica ester edisi 8, jakarta, EGC
3.
Carpenito, L. J, 2001, Hand
book of nursing diagnosis, 8-e (buku saku diagnosa keperawatan, 8-e), Alih
bahasa monica ester dkk, Jakarta, EGC
4.
Doengoes ME, 2000, Nursing
care plans guide line for planning and documenting patien care, edisi 3,
alih bahasa I made kariasa, Jakarta, EGC
5.
Nelson, & behrman, kliegman, 2000, Nelson teks book of pediatric 15/e, vol. 2, Ed 15, alih bahasa A
Samik Wahab, Jakarta, EGC
6.
Nuchsan .A, 2002, Penatalaksanaan
Busung lapar pada balita, Cermin Dunia Kedokteran no. 134, 2002 : 10-11
Wong, L. D
& Whaleys, 2004, Pedoman klinis
asuhan keperawatan anak, alih bahasa monica ester, Jakarta, EGC
Gambaran Klinik dan
Diagnosis
Gambaran klinik antara Marasmus dan
Kwashiorkor sebenarnya berbeda walaupun dapat terjadi bersama-sama (Ngastiyah,
1997)
Gambaran Klinik Kwashiorkor:
Pertumbuhan
terganggu (berat badan dan tinggi badan kurang dari standar)
Tabel 1: Perkiraan
Berat Badan (Kg)
1. Lahir 3,25
2. 3-12 bulan (bln + 9) / 2
3. 1-6 tahun (thn x 2) + 8
4. 6-12 tahun {(thn x 7) – 5} / 2
(Soetjiningsih, 1998, hal. 20)
Tabel 2: Perkiraan
Tinggi Badan (Cm)
1. 1 tahun 1,5 x TB lahir
2. 4 tahun 2 x TB lahir
3. 6 tahun 1,5 x TB 1 thn
4. 13 tahun 3 x TB lahir
5. Dewasa 3,5 x TB lahir = 2 x TB 2 thn
(Soetjiningsih, 1998, hal. 21)
Perubahan mental
(cengeng atau apatis)
Pada sebagian besar
anak ditemukan edema ringan sampai berat)
Gejala
gastrointestinal (anoreksia, diare)
Gangguan pertumbuhan
rambut (defigmentasi, kusam, kering, halus, jarang dan mudah dicabut)
Kulit kering,
bersisik, hiperpigmentasi dan sering
ditemukan gambaran crazy
pavement dermatosis.
Pembesaran hati
(kadang sampai batas setinggi pusat, teraba kenyal, licin dengan batas yang
tegas)
Anemia akibat
gangguan eritropoesis.
Pada pemeriksaan
kimia darah ditemukan hipoalbuminemia dengan kadar globulin normal, kadar
kolesterol serum rendah.
Pada biopsi hati
ditemukan perlemakan, sering disertai tanda fibrosis, nekrosis dan infiltrasi
sel mononukleus.
Hasil autopsi pasien
kwashiorkor yang berat menunjukkan terjadinya perubahan degeneratif pada semua
organ (degenerasi otot jantung, atrofi fili usus, osteoporosis dan sebagainya)
Gambaran Klinik Marasmus:
Pertumbuhan
berkurang atau terhenti, otot-otot atrofi
Perubahan mental
(cengeng, sering terbangun tengah malam)
Sering diare, warna
hijau tua, terdiri dari lendir dengan sedikit tinja.
Turgor kulit menurn,
tampak keriput karena kehilangan jaringan lemak bawah kulit
Pada keadaan
marasmik yang berat, lemak pipi juga hilang sehingga wajah tampak lebih tua,
tulang pipi dan dagu kelihatan menonjol
Vena superfisial
tampak lebih jelas
Perut membuncit
dengan gambaran usus yang jelas.
Konsep Asuhan
Keperawatan Marasmik-Kwashiorkor
Riwayat Keperawatan
Riwayat Keperawatan Sekarang
Pada umumnya anak
masuk rumah sakit dengan keluhan gangguan pertumbuhan (berat badan semakin lama
semakin turun), bengkak pada tungkai, sering diare dan keluhan lain yang
menunjukkan terjadinya gangguan kekurangan gizi.
Riwayat Keperawatan Sekarang
Meliputi pengkajian riwayat prenatal, natal dan post natal,
hospitalisasi dan pembedahan yang pernah dialami, alergi, pola kebiasaan,
tumbuh-kembang, imunisasi, status gizi (lebih, baik, kurang, buruk),
psikososial, psikoseksual, interaksi
dan lain-lain. Data fokus yang perlu dikaji dalam hal ini adalah riwayat
pemenuhan kebutuhan nutrisi anak (riwayat kekurangan protein dan kalori dalam
waktu relatif lama).
Riwayat Kesehatan Keluarga
Meliputi pengkajian
pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas, pendidikan dan
pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan angota keluarga, kultur dan
kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi keluarga
tentang penyakit klien dan lain-lain.
Pengkajian Fisik
Meliputi
pengkajian pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas,
pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan angota keluarga,
kultur dan kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi
keluarga tentang penyakit klien dan lain-lain.Pengkajian secara umum dilakukan
dengan metode head to too yang meliputi: keadaan umum dan status kesadaran,
tanda-tanda vital, area kepala dan wajah, dada, abdomen, ekstremitas dan genito-urinaria.
Fokus pengkajian
pada anak dengan Marasmik-Kwashiorkor adalah pengukuran antropometri (berat
badan, tinggi badan, lingkaran lengan atas dan tebal lipatan kulit). Tanda dan
gejala yang mungkin didapatkan adalah:
Penurunan ukuran
antropometri
Perubahan rambut (defigmentasi,
kusam, kering, halus, jarang dan mudah dicabut)
Gambaran wajah
seperti orang tua (kehilangan lemak pipi), edema palpebra
Tanda-tanda
gangguan sistem pernapasan (batuk, sesak, ronchi, retraksi otot intercostal)
Perut tampak buncit,
hati teraba membesar, bising usus dapat meningkat bila terjadi diare.
Edema tungkai
Kulit kering,
hiperpigmentasi, bersisik dan adanya crazy pavement dermatosis terutama pada bagian tubuh yang sering
tertekan (bokong, fosa popliteal, lulut, ruas jari kaki, paha dan lipat paha)
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan
laboratorium, anemia selalu ditemukan
terutama jenis normositik normokrom karen
A adanya gangguan
sistem eritropoesis akibat hipoplasia kronis sum-sum tulang di samping karena
asupan zat besi yang kurang dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan
absorbsi. Selain itu dapat ditemukan kadar albumin serum yang menurun.
Pemeriksaan radiologis juga perlu dilakukan untuk menemukan adanya kelainan
pada paru.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
keperawatan yang mungkin dapat ditemukan pada anak dengan Marasmik-Kwashiorkor
adalah:
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh b/d asupan yang tidak adekuat, anoreksia dan diare.
Kekurangan volume
cairan b/d penurunan asupan peroral dan peningkatan kehilangan akibat diare.
Gangguan
pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan kalori dan protein yang tidak adekuat.
Risiko aspirasi
b/d pemberian makanan/minuman personde dan peningkatan sekresi
trakheobronkhial.
Bersihan jalan
napas tak efektif b/d peningkatan sekresi trakheobronkhial sekunder terhadap
infeksi saluran pernapasan
Rencana Keperawatan
1) Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d asupan yang tidak adekuat, anoreksia
dan diare (Carpenito, 2000, hal. 645-655).
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
Klien akan menunjukkan pening-katan status gizi.
Kriteria:
Keluarga klien dapat menjelaskan penyebab gangguan nutrisi yang dialami
klien, kebutuhan nutrisi pemulihan, susunan menu dan pengolahan makanan sehat
seimbang.
Dengan bantuan perawat, keluarga klien dapat mendemonstrasikan
pemberian diet (per sonde/per oral) sesuai program dietetik.
|
Jelaskan kepada keluarga tentang penyebab malnutrisi, kebutuhan nutrisi
pemulihan, susunan menu dan pengolahan makanan sehat seimbang, tunjukkan
contoh jenis sumber makanan ekonomis sesuai status sosial ekonomi klien.
Tunjukkan cara pemberian makanan per sonde, beri kesempatan keluarga
untuk melakukannya sendiri.
Laksanakan pemberian roborans sesuai program terapi.
Timbang berat badan, ukur lingkar lengan atas dan tebal lipatan kulit
setiap pagi.
|
Meningkatkan pemahaman keluarga tentang penyebab dan kebutuhan nutrisi
untuk pemulihan klien sehingga dapat meneruskan upaya terapi dietetik yang
telah diberikan selama hospitalisasi.
Meningkatkan partisipasi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi
klien, mempertegas peran keluarga dalam upaya pemulihan status nutrisi klien.
Roborans meningkatkan nafsu makan, proses absorbsi dan memenuhi defisit
yang menyertai keadaan malnutrisi.
Menilai perkembangan masalah klien.
|
2) Kekurangan
volume cairan tubuh b/d penurunan asupan peroral dan peningkatan kehilangan
akibat diare(Carpenito, 2000, hal. 411-419).
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
Klien akan menunjukkan keadaan hidrasi yang adekuat.
Kriteria:
Asupan cairan adekuat sesuai kebutuhan ditambah defisit yang terjadi.
Tidak ada tanda/gejala dehidrasi (tanda-tanda vital dalam batas normal,
frekuensi defekasi ≤ 1 x/24 jam dengan konsistensi padat/semi padat).
|
Lakukan/observasi pemberian cairan per infus/sonde/oral sesuai program
rehidrasi.
Jelaskan kepada keluarga tentang upaya rehidrasi dan partisipasi yang
diharapkan dari keluarga dalam pemeliharan patensi pemberian infus/selang
sonde.
Kaji perkembangan keadaan dehidarasi klien.
Hitung balans cairan.
|
Upaya rehidrasi perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan
volume cairan.
Meningkatkan pemahaman keluarga tentang upaya rehidrasi dan peran
keluarga dalam pelaksanaan terpi rehidrasi.
Menilai perkembangan masalah klien.
Penting untuk menetapkan program rehidrasi selanjutnya.
|
3) Gangguan
pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan kalori dan protein yang tidak adekuat
(Carpenito, 2000, hal. 448-460).
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
Klien akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan sesuai standar usia.
Kriteria:
Pertumbuhan fisik (ukuran antropometrik) sesuai standar usia.
Perkembangan motorik, bahasa/ kognitif dan personal/sosial sesuai
standar usia.
|
Ajarkan kepada orang tua tentang standar pertumbuhan fisik dan
tugas-tugas perkembangan sesuai usia anak.
Lakukan pemberian makanan/ minuman sesuai program terapi diet
pemulihan.
Lakukan pengukuran antropo-metrik secara berkala.
Lakukan stimulasi tingkat perkembangan sesuai dengan usia klien.
Lakukan rujukan ke lembaga pendukung stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan (Puskesmas/Posyandu)
|
Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Diet khusus untuk pemulihan malnutrisi diprogramkan secara bertahap
sesuai dengan kebutuhan anak dan kemampuan toleransi sistem pencernaan.
Menilai perkembangan masalah klien.
Stimulasi diperlukan untuk mengejar keterlambatan perkembangan anak
dalam aspek motorik, bahasa dan personal/sosial.
Mempertahankan kesinambungan program stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan memberdayakan sistem pendukung yang ada.
|
4) Risiko
aspirasi b/d pemberian makanan/minuman personde dan peningkatan sekresi
trakheobronkhial (Carpenito, 2000, hal. 575-580).
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
Klien tidak mengalami aspirasi.
Kriteria:
Pemberian makan/minuman per sonde dapat dilakukan tanpa mengalami
aspirasi.
Bunyi napas normal, ronchi tidak ada.
|
Periksa dan pastikan letak selang sonde pada tempat yang semestinya
secara berkala.
Periksa residu lambung setiap kali sebelum pemberian makan-an/minuman.
Tinggikan posisi kepala klien selama dan sampai 1 jam setelah pemberian
makanan/minuman.
Ajarkan/demonstrasikan tatacara pelaksanaan pemberian makanan/ minuman
per sonde, beri kesempatan keluarga melakukan-nya setelah memastikan keamanan
klien/kemampuan keluarga.
Observasi tanda-tanda aspirasi.
|
Merupakan tindakan preventif, meminimalkan risiko aspirasi.
Penting untuk menilai tingkat kemampuan absorbsi saluran cerna dan
waktu pemberian makanan/minuman yang tepat.
Mencegah refluks yang dapat menimbulkan aspirasi.
Melibatkan keluarga penting bagi tindak lanjut perawatan klien.
Menilai perkembangan masalah klien.
|
5) Bersihan jalan
napas tak efektif b/d peningkatan sekresi trakheobronkhial sekunder terhadap
infeksi saluran pernapasan (Carpenito, 2000, hal. 799-801).
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
Klien akan menunjukkan jalan napas yang efektif.
Kriteria:
Jalan napas bersih dari sekret, sesak napas tidak ada, pernapasan
cuping hidung tidak ada, bunyi napas bersih, ronchi tidak ada.
|
Lakukan fisioterapi dada dan suction secara berkala.
Lakukan pemberian obat mukolitik/ekspektorans sesuai program terapi.
Observasi irama, kedalaman dan bunyi napas.
|
Fisioterapi dada meningkatkan pelepasan sekret. Suction diperlukan
selama fase hipersekresi trakheobronkhial.
Mukolitik memecahkan ikatan mukus; ekspektorans mengencerkan m,ukus.
Menilai perkembangan maslah klien.
|
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito (2000), Diagnosa
Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. Ke-6, EGC, Jakarta.
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit,
EGC, Jakarta
Soetjiningsih (1998), Tumbuh Kembang Anak,
EGC, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar